Puteri Puan Bulan Dingin 4 (terakhir)
|
Selepas Nail, isteri dan anaknya berjarak cukup
jauh dari pandangan keremangan malam itu, Nathan pun kembali ke arah dia
datang dan
Rupanya inilah
jawaban yang sedari siang membuat perasaan Nathan tak karuan, Nathan
dipertemukan dengan sosok yang kini menjadi misteri buatnya.
Sepanjang jalan Nathan
terus memikirkan kemiripan paras dari anaknya Nail yang begitu persis rupanya dengan Maliyant muda, dia tidak habis
mengerti mengapa wajah gadis itu begitu sama. Apakah gadis itu memang anaknya
Maliyant ? terus Maliyant sendiri ada di mana sekarang ? apakah masih hidup,
jika benar masih hidup, mengapa tidak merawat dan membesarkan anaknya ?
atau.... tidak, bathin Nathan bergetar, tapi kemudian fikiran buruk itu datang
lagi, jangan-jangan Maliyant telah meninggal, mungkin saja pada saat melahirkan
ia meninggal. Lalu anaknya diketemukan oleh Nail atau Itna di dekat hutan
Pandore. Tapi jarak hutan Pandore ke rumah Nail kan jauh sekali, Nail kan tidak
punya kuda, sehingga jika Nail berjalan kaki kesana itu sangat tidak mungkin.
Begitulah Nathan mereka-reka kemungkinan kejadian yang terjadi sehingga bisa masuk akal apabila gadis itu akhirnya dirawat
dan dibesarkan oleh Nail dan Isterinya. Tetapi Nathan tidak menemukan kesimpulan terhadap kemungkinan
yang memuaskan pertanyaan dalam hatinya. Akhirnya Nathan memutuskan akan
menanyakan hal ini kepada Nailamorena di pasar pagi sore nanti. Nathan membuka
pintu masuk rumahnya, kemudian dia menuangkan air dari teko gerabah ke gelas
yang terbuat dari gerabah pula, dia menghempaskan pantatnya ke kursi kayu di
hadapan meja tempat biasa dia makan, fikirannya kembali mengenang ketika dia
pertama kali bertemu dengan Maliyant, saat dia masih remaja, kemudian kenangan
manis yang mereka lalui hingga sekira usia mereka seumuran puterinya Nail
sekarang ini. Saat itulah pertamakalinya Nathan berani mengungkapkan perasaan
hatinya kepada Maliyant yang ternyata disambut baik oleh Maliyant dengan
setulus hatinya. Nathan merasakan benar
kebahagiaan yang belum pernah ia alami, dia merasa bangga karena mempunyai
seorang tambatan hati yang membalas cintanya dan mempunyai kelebihan dari
gadis-gadis di desanya, bahkan di Kerajaan Serangia sekalipun. Nathan memuja Maliyant
muda sebagai bidadari cantik dari khayangan, pipinya putih lembut selembut bulu
burung Mockingjay, mata yang hitam bening bagaikan berlian langka yang kembar,
senyumnya mampu membuat luluh hati baja lumer seperti keju dalam kuali panas
pada tungku, suaranya merdu serupa buluh perindu, bahkan dia masih ingat
sebagian puisi yang selalu Maliyant ucapkan setiap mereka berduaan pada malam
bulan purnama di tepian hutan Pandore.
Engkau rembulan putih yang bulat
sempurna,
Sudikan antar rasa ke ujung bahagia,
Karena tuntutan hanya sekali dalam satu
purnama,
Untuk purnama berikut yang masih di genggaman
misteri masa.
Wahai malam, bermurah hatilah walau sedikit
saja kepadaku,
Yang menoreh nama kerinduan di setiap kulit
kayu,
Menanggalkan hari pada waktu demi waktu,
Mengharap bunga-bunga asmaranya senantiasa
segar tidak melayu,
( I still children, and do not know being
mature three of them )
Malam yang sangat panjang, Nathan terus-terusan menerawang
ke masa lalu, masa-masa yang indah pada perjalanan cintanya bersama Maliyant,
sampai akhirnya fajar memaksanya terbenam dalam bantal bulu rubah di atas dipan
kayu jatinya.
*****
Spot Edisi terakhir
Jauh ke arah timur negeri Serangia, sebuah istana
kekaisaran besar berdiri megah dengan penduduknya yang hidup makmur dikarenakan
kaisar memiliki beberapa negeri yang
tunduk terhadap kekuasaan sang Raja diraja yang meliputi empat penjuru mata
angin wilayah yang berada dalam kekuasaannya.
Dan setiap tahunnya, kekaisarannya mendapatkan upeti yang berlimpah yang
kemudian dibagikan kepada setiap rakyatnya tanpa kecuali.
Bathaviechong, adalah sebuah negeri besar yang dipimpin oleh seorang
kaisar yang gagah berani, jenius dalam strategi kepemimpinan, peperangan, dan
perekonomian, namun haus akan daerah kekuasaan yang tentu saja membuatnya
sangat disegani oleh Para Raja yang berada dalam wilayah kekuasaannya tersebut.
Telah lama Sang Kaisar mendengar perihal kerajaan Serangia yang konon hidup
dalam kesejahteraan dan ketenangan setelah memperoleh kemenangan besar dalam
peperangan dan memperoleh kemenangan pula dari kaum Peri dengan waktu yang
begitu singkat , Peri hutan Pandore yang sebenarnya sangat ditakuti oleh
sebagian besar para Raja manusia dimasa itu. Gaung yang sampai kepada siapapun
bila mendengar Kaum Peri Hutan Pandore adalah, kekuatan yang dasyat. Satu orang
peri yang mampu berperang sambil terbang dikarenakan memiliki sayap, sebanding
dengan seratus orang prajurit terkuat sekalipun, padahal jumlah Peri Hutan
Pandore desas desusnya lebih dari tujuh ratus orang, yang masing-masing
mempunyai wilayah terbangnya sendiri-sendiri di hutan yang sangat luas
tersebut. Maka dapat dibayangkan betapa kuat dan mustahilnya kerajaaan manapun
yang ingin menguasai Hutan Pandore bila hanya mengandalkan kekuatan Prajurit
Perang. Dalam benak Ghonkhovi,
Kaisar negeri Bathaviechong, kerajaan
Serangia pastilah menggunakan sihir dalam mengalahkan Kaum Peri tersebut.
Begitulah pikiran sang kaisar, yang padahal jauh sekali dengan kenyataan
sebenarnya terjadi pada peperangan yang mengharu birukan tersebut. Timbul dalam dalam benak Kaisar untuk
memata-matai seluk beluk Kerajaan Serangia sampai sedetil-detilnya. Maka diapun
mengumpulkan para telik sandi terlatih dibidang spionase, mulai dari poilitik,
ekonomi, budaya, bahkan spiritual untuk dikirim ke kerajaan Serangia. Dan
mereka diberi pembekalan terlebih dahulu oleh Sang Kaisar secara langsung di
tempat yang sangat rahasia, dengan tujuan agar tidak ada siapapun yang
mengetahui kegiatan tersebut.
******
Pagi buta Nathan sudah rapi dan bersiap
berangkat ke pasar pagi sore, walaupun dia tahu bahwa di sana pasti masih sepi,
dan hanya akan ada beberapa pengirim barang dagangan dan para penjual yang akan
menjualkannya.
Udara
dingin menyerap pada kulit Nathan, reflek dia menoleh ke arah hutan Pandore
yang terlihat dari depan rumahnya serupa bukit yang menjulang menyentuh
sekawanan arakan awan yang terlihat mengabut di bias cahaya bulan tua yang
mulai melebur bergulir ke ufuk terbenamnya. Pagi segera menjelang dan suara
hiruk pikuk kesibukan akan mulai terdengar di balik pintu-pintu rumah yang
dilewati Nathan sepanjang perjalanannya ke pasar. Namun berbeda dari hari
biasanya, suasana sepi menemani perjalanan Nathan kali ini, hanya jangkrik yang
senantiasa terdengar berisik di kupingnya dengan suara ajakan kawin dari
pejantan kepada betinanya, membuatnya sedikit iri. Bergegas langkah kaki Nathan
menimbulakan suara alas kakinya terdengar beraturan seperti barisan tentara,
plak..plak...plak..plak. Hingga akhirnya tampak dari kejauhan pasar Pagi sore
seolah memanggil langkah kaki Nathan
untuk bersegera menghampiri. Matanya mengarah ke kios milik Nail. Masih
tertutup dan sepi, namun disekitarannya mulai terlihat pintu-pintu kios yang
terbuka, Nathan menghampiri kios pak yang terdekat dengan kiosnya Nail, yaitu
kios yang menjual barang barang terbuat dari gerabah.
“Selamat pagi bapak..” Nail memberi salam kepada
bapak penjaga kios yang sedikit terperanjat mendengan urukan salam Nathan.
“Selamat pagi juga..” sambil memerhatikan Nathan
Bapak penjaga kios itu menelisik. “Oh.. rupanya bapak Nathan, saya sedikit
kaget mendengar suara bapak barusan, saya pikir siapa yang sepagi ini hendak
berbelanja di kiosku.” Penjaga kios itu melanjutkan.
“Iya pak saya, hehehe.. maaf membuat bapak kaget..”
kata Nathan.
“Hmmm, iya gak apa-apa pak Nathan, bapak tidak
membuka kios bapak..? saya liat bapak tidak membawa barang sama sekali.” Tanya
penjaga kios.
“Iya pak, hari ini saya ada keperluan sama pak
Nail, bapak tahukah jam berapa biasanya dia membuka kios..? Nathan menerangkan
maksudnya.
“ Oh... pantas saja bapak tidak membawa dagangan,
biasanya tidak lama setelah saya buka kios, pak Nail datang pak, mungkin
sebentar lagi.” Terang pak penjaga kios.
Nathan tersenyum, “Oh begitu pak, terima kasih pak,
saya tunggu di kios saya saja” sahut Nathan pamitan.
“Sama-sama pak Nathan..iya pak silakan” balas
penjaga kios.
Nathan menuju kiosnya, namun ia tidak membukanya.
Duduk di bangku yang ada di depan kios makanan burung miliknya. Matanya
sesekali memandang ke arah Bukit Utara, tempat tinggal Nail beserta
keluarganya.
Selang beberapa jam, Nail tidak juga terlihat
menampakkan batang hidungnya, Nathan mulai gelisah, pagi sudah lama berlalu dan
beberapa orang pelanggannya tidak jadi menghampiri kiosnya yang tutup, hanya
menatap kepadanya sambil tersenyum dan menanyakan mengapa kiosnya tidak buka.
Hilir mudik orang berbelanja mulai membuat Nathan tidak kerasan dan merasa ia
harus pergi dari situ. Dia menatap kembali Bukit Utara, lalu akhirnya dia
memilih untuk mendatangi desa tersebut daripada pulang dan menangguhkan
pertanyaan yang mengganggu hatinya. Sejenak dia menatap kios gerabah yang
sesekali didatangi oleh pembeli. Kemudian Nathan beranjak dan berjalan menuju
desa Bukit Utara, dibelinya sedikit makanan untuk bekal di perjalanannya.
Beberapa bungkus kue dan satu ruas bambu air nira untuknya minum. Jalanan lebar
mulai mengecil ketika Nathan memasuki wilayah kaki bukit, menanjak pula. Hingga
hanya jalan setapak yang mengarahkan Nathan ke desa Bukit Utara tersebut.
Suasana hening dan sejuk tatkala perjalanan memasuki rimbunan pohon yang
menjulang tinggi dengan serakan daun-daun gugur di sekitaran jalan, tercium
basahnya daun-daun kering tersebut membuat Nathan menikmati betul
perjalanannya.
*******
Puan Bulan Dingin termenung di dipan depan
rumahnya, ia masih memikirkan kejadian di pesta Hari Kedamaian Kerajaan
Serangia semalam. Matanya yang indah menatap kosong jalan setapak kedalam
hutan, pikirannya masih merasa di pusat
kota Nobayim, hati kecilnya masih
bertanya-tanya, siapakah gerangan lelaki stengah baya yang menatapinya kala
itu. Ibunyalah yang memberitahukan kepadanya baahwa ada seseorang yang menatap
tanpa berkedip kepadanya, untuk itulah ibunya mengajak pulang lebih cepat,
padahal acara puncaknya yaitu pelepasan ribuan lampu kertas diterbangkan
keudara belumlah mereka saksikan. Walaupun hati ibunya merasa khawatir pada
malam itu, mengetahui bahwa dirinya ada yang memerhatikan, dan sepintas ia
sempat melirik lelaki yang dimaksud ibunya itu, ia merasa bahwa orang itu tidak
begitu asing baginya, pun ia belum pernah mengenalnya, tetapi seperti ada
sesuatu yang mengingatkan dia kepada entah siapa.
Tiba-tiba dari kejauhan nampak seorang perempuan
seumuran ibunya datang mendekat ke arahnya. Langkah kakinya seperti tergesa dan
cepat. Putri puan bulan dingin bangkit dan sedikit beringsut membuka pintu depan
rumahnya bersiap untuk masuk, namun ia mengurungkannya. Ia malah memanggil
ibundanya untuk segera kedepan rumah yang kala itu tengan disibukkan oleh
pekerjaan di dapur seperti biasanya setiap pagi.
“Bundaaa...!!! segera kesini bundaaa..”
Terdengar sahutan dari dalam rumah.
“Iya sebentar...” berbegas Itna menghampiri anaknya
yang ada di teras rumah.
“Ada apa anakku..?” tanya Itna lembut.
“Itu ada perempuan sedang menuju kesini
bun.sepertinya puteri baru melihatnya kali ini, apa bunda kenal..?
Itna berdiri disamping anaknya dan ikut
memerhatikan dengan seksama seorang perempuan dari kejauhan sedang bergegas
menuju ke arah rumah mereka.
“Bunda tidak kenal sayangku, siapa yah dia..?”
seolah bertanya pada dirinya sendiri
sambil meletakkan tangan kanannya ke pundak Putri Puan Bulan Dingin, Itna
akhirnya menunggu hingga perempuan itu tiba di rumah mereka.
“Permisi, Selamat pagi semuanya...” sapa perempuan
itu yang tak lain adalah Maliyanti, berdiri tepat dihadapan Itna dan Anaknya.
“Iya selamat pagi juga, ibu sedang mencari
siapa...? karena baru kali ini kami melihat ibu. Ma’af, pasti ibu bukan berasal
dari sekitar sini. Lanjut Itna.
“Iya, Ibu benar.”sela Maliyanti. Ibu pasti
Isterinya Nail kan, dan ini adalah anak angkat kalian”. Maliyanti menatap dan
tersenyum manis kepada Putri Puan Bulan Dingin yang masih berdiam diri dan
menatap selidik kepada Maliyanti, yang tak lain adalah ibunya sendiri.
“Benar, Ibu siapa...?” penasaran Itna
mengkereenyitkan keningnya ingin tahu.
“Nanti saja saya ceritakan, kita harus bergegas.
Dimana Nail suami ibu..? Maliyanti seolah kan mengajak pergi mereka.
“Bergegas kemana...? Tanya Itna, dan kenapa dengan
suami saya..? Itna mulai sedikit curiga akan terjadi sesuatu pada keluarga
mereka.
“Bala tentara kerajaan Bathaviechong,
sedang menuju kesini, maksud saya menuju kekerajaan
Serangia...”ucap Maliyanti berbarengan dengan suara terompet melengking tinggi
dari kejauhan, dari arah Kerajaan.
Serentak
mereka mengarahkan pandangan mereka ke arah Kerajaan Serangia.
“Itu suara
terompet kerajaan bunda, tanda ada bahaya sedang mendekat..” seolah menjelaskan
Puteri Puan Bulan Dingin berujar begitu saja.
“Iya benar...”
sahut Itna.
“Iya
makanya kita harus pergi dari sini, sejauh mungkin, dimana Nail suami ibu.”tak
sabar Maliyanti ingin segera membawa anaknya pergi dari situ.
Tiba-tiba
saja dari belakang Maliyanti terdengar suara yang lebih mengejutkan dari suara
terompet itu.
“Maliyanti...
engkaukah itu..? Nathan sudah berada tepat dibelakang Maliyanti yang masih memunggungi
jalan setapak menuju rumah Nail.
“Engkau masih hidup..? gemetaran suara Nathan
terdengar jelas sekali.
Maliyanti menoleh perlahan, dan menemukan bentuk
wajah yang tidak pernah akan dilupakannya. Mereka saling menatap sekian detik,
sebelum akhirnya mereka berempat dikejutkan oleh suara Nail dari belakang rumah
sambil bertanya.”Ada apa ini, kok ramai banyak orang. Semua akhirnya
mengarahkan pandangan mata mereka kepada Nail.
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan Pak, Nail, Hari
ini atau paling lambat besok pagi, bala tentara kerajaan Bathaviechong akan
tiba di kerjaan Serangia dan pastinya kerajaan Serangia akan hancur binasa,
karena saya melihat dari angkasa jumlah mereka sangat banyak, sepuluh kali
lipat dari tentara kerajaan ini.”Maliyanti menjelaskan.
“Benarkah
itu Maliyanti...? tanya Nail kurang percaya.
“Buat apa
saya berbohong, sebaikanya kita pergi sekarang sebelum keadaan menjadi kacau
balau, kecuali jika pak Nail dan kamu Nathan, ingin ikut berperang melawan
Jutaan Bala tentara Bathaviechong. Karena jumlah mereka terlalu banyak, tidak
seimbang dengan jumlah tentara Kerajaan Serangia, walaupun ditambah dengan jumlah
penduduk kerajaan Serangia semuanya, termasuk anak kecil dan perempuan, tak
akan bisa mengalahkan jumlah mereka. Raja Serangiapun pasti akan menyuruh
Rakyatnya untuk mengungsi”. Maliyanti menerangkan kembali.
“Baiklah,”
Nathan berujar, “kita akan kemana”. Tanyanya kemudian.
Semua
menatap Maliyanti yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah tidak muda
lagi.
“Kita
kenegeri Peri, Hutan Pandore..”
“Tapi kami
tak punya kuda..” sahut Nail.
Maliyanti
tersenyum, dan mukanya menegadah kelangit kemudian bersiul kencang.
Sekonyong-konyong
empat ekor ikran segera saja menukik kearah mereka diiringi hembusan angin dari
sayap-sayap mereka yang kokoh.
“Tidak
usah takut kalian, mereka sahabat-sahabatku”, tegas Maliyanti melihat raut muka
Nail, Itna dan Puteri Puan Bulan Dingin yang ragu dan takut.
Tanpa
banyak bertanya lagi mereka segera menaiki punggung ikran dengan petunjuk dari
Maliyanti.
******
Sementara itu bala tentara Kerajaan Bathaviechong sudah
melancarkan serangannya di sepanjang perjalanan menuju kerajaan Serangia yang
masih bersiap-siap menyambut kedatangan meraka.
Setiap perkampungan yang dilewati
oleh bala tentara Bathaviechong,
pasti
dibumi hanguskan oleh pasukan terdepan, dan tidak disisakan siapapun untuk
hidup. Kekejaman yang mengerikan dan menakutkan bagi siapapun yang bertemu
langsung dengan tentara-tentara ini.
Telik sandi telah memberitahukan
kepada Raja Serangia perihal ini, dan pasukan tentara Serangia bersiaga di
pintu-pintu gerbang Istana untuk menyambut peperangan yang sudah pasti dasyat
dan menghancurkan mereka semua, tetapi mereka tidak gentar menyambut kematian
yang tidak lama lagi akan menjemput demi sebuah sejarah yang akan dikenang oleh
siapapun; mendengar keberanian tentara Serangia yang pernah memenangkan
peperangan dengan kaum Peri.
******
Para penunggang ikran telah
sampai di dalam hutan lebat Pandore, dan mereka berkumpul di rumah Maliyanti
yang penuh dengan tanaman bunga, namun terasa hening dan senyap.
“Selamat datang di rumahku,
kalian berdiamlah di sini dan jangan sungkan anggap saja ini rumah kalian
sendiri. Di dapur ada buah-buahan dan ubi-ubian untuk kalian makan, saya masih
ada urusan dengan peri-peri yang lain jadi tidak bisa menemani kalian disini.”
Tegas Maliyanti yang begitu saja meselat bersama Toruk Ikrannya ke angkasa
tanpa menunggu persetujuan dari mereka.
Nail, Isterinya, Puteri Puan
Bulan Dingin dan Nathan hanya bisa terpaku sebelum akhirnya Nail membuka suara.
“Akhirnya kita ada di sini
sekarang..” sambil menatap keliling kepada Nathan, Istrinya dan Puteri mereka.
“Yah, kejadian ini begitu tiba-tiba,
seolah saya diarahkan untuk menjauh dari peperangan, disaat saya ingin
mengetahui sesuatu yang selama ini menjadi kegelisahan saya.” Nathan seolah
bergumam.
“Iya benar, saya pertama melihat
bapak juga sedikit bingung, ada apakah gerangan bapak Nathan datang ke rumah
kami di desa Bukit Utara.” Lanjut Nail.
“saya sebenarnya ingin mengetahui
perihal anak bapak dan ibu, karena ia mengingatkan saya kepada seseorang...”
terang Nathan sambil melirik ke arah Puteri Puan Bulan Dingin.
Penjelasan maksud kedatangan Nathan
ke desa Bukit Utara membuat mereka bertiga saling menatap satu sama lain dan
bertanya-tanya.
“Tentang apakah itu wahai Pak
Nathan...? kami jadi penasaran?” Itna spontan bertanya. Namun Nathan malah
membisu, dia ragu terhadap apa yang hendak disampaikannya, sesekali dia melirik
kepada Puteri Puan Bulan Dingin yang sekarang dia yakini sebagai anaknya dari
Maliyanti.
“Saya mulai faham sekarang...”
Nail membuka suara setelah hening beberapa saat. “Pak Nathan dengan Peri itu
dahulu punya cerita yang mengesankan namun sekaligus menyakitkan, bukan begitu
pak Nathan..? lanjut Nail menatap Nathan, yang hanya bisa terdiam saja.
“Kami sudah menduga kejadian ini
jauh sebelum saya menikahi Itna isteri saya.” gumam Nail.
“Puteriku Puan Bulan Dingin, ayah
fikir kamu sudah mengerti arti semua ini sayang.” giliran Puteri Puan Bulan
Dingin sekarang yang ditatatap semua orang.
“Iya ayah...” hanya itu yang
mampu Puteri ucapkan sambil menunduk menahan semua gejolak rasa yang bercampur
aduk.
“Seharusnya kita berbicara tanpa
Puteri Puan Bulan Dingin terlebih dahulu..kasihan Puteri kita pak..” sambil
menahan isak Itna bersuara.
“Saya fikir juga begitu tadinya
pak Nail.”
“Tidak bu, pak Nathan, semakin
cepat Puteri Puan Bulan Dingin mengetahui ini semua semakin baik buat
dirinya.”lontar Nail.
“Tapi seharusnya kita menunggu
Maliyanti dulu sebelum kita berbicara.” Tukas Nathan.
Nail tersenyum kecut, “Saya rasa,
kedatangan Peri ke rumah kami tadi sudah memberi penjelasan yang tidak langsung
bagi Puteri, karena Puteri sudah mengetahui perihal ibu kandungnya pak Nathan,
walaupun dia belum pernah bertemu ataupun melihatnya. “jelas Nail gamblang.
“Baiklah jika begitu, engkau
tidak apa-apa Puteri” sahut Nathan lembut.
Puteri Puan Bulan Dingin
mengangguk lalu menatap Nathan dengan genangan air mata yang siap tumpah.
“Iya pak, Puteri tidak apa-apa,
Puteri sudah mempersiapkan diri Puteri jika ini terjadi, Puteri sudah tahu jika
yang membesarkan Puteri selama ini bukan orangtua kandung Puteri, dan sekarang
Puteri tahu jika ibu yang melahirkan Puteri adalah ibu Peri yang tadi, dan
bapak kandung Puteri adalah Bapak Nathan.”ujar Puteri Puah Bulan Dingin sambil
menyeka air matanya yang telah luruh.
“Tapi Puteri bingung harus
bersikap bagaimana sekarang...” lanjutnya.
“Puteri, Puteri tidak usah
memikirkan bagaimana harus bersikap seperti apa, saya hanya ingin mengetahui
bahwa saya ternyata punya seorang anak dari Maliyanti, itu saja. Orang tua
Puteri tetap orangtua yang selama ini telah membesarkan Puteri, menyayangi
Puteri dan merawat Puteri hingga sekarang besar.” Terang Nathan panjang lebar.
“Karena sesungguhnya saya juga
tidak tahu jika ternyata saya mempunyai seorang anak, nanti saya ceritakan
dengan gamblang semuanya setelah Maliyanti kembali kesini.”lanjut Nathan.
Beberapa lama kemudian mereka
akhirnya terdiam dengan lamunan masing-masing sambil menunggu Maliyanti
kembali.
Hingga malam tiba Maliyanti belum
juga kembali, akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat dan tidur di rumah
Maliyanti yang hanya terdapat satu kamar, Itna dan Puteri tidur di dalam kamar,
sementara Nathan dan Nail tidur di ruang yang terdapat gelaran kulit rusa yang
cukup bagi mereka untuk bisa istirahat dengan nyaman.
**********
Maliyanti berhasil meyakinkan
akan pentingnya Kerajaan Serangia bagi kehidupan para peri di hutan Pandore,
sehingga para peri setuju untuk membantu bala tentara Serangia berperang
melawan tentara-tentara Bathavietchong hingga titik darah penghabisan. Dan
mereka dengan jumlah sekira seribu peri terbang melesat menuju Kerajaan
Serangia dengan cepat, laksana kilat, sebentar saja mereka sudah berada di
kerajaan Serangia yang tengah terkepung oleh bala tentara Bathavietchong dari
segala arah mata angin.
Maliyanti yang kala itu memimpin
pasukan peri langsung memberi aba-aba untuk menyerang tentara musuh, sementara
dia dengan Toruk Ikrannya menukik ke Istana Raja untuk menemui Raja Serangia.
Anak-anak panah dari kedua bala
tentara berterbangan diudara, membuat langit dipenuhi anak-anak panah dan
menutupi sinar matahari. Tentara Bathavietchong sangat terkejut dengan
kedatangan para peri, mereka tidak mengira akan bertempur dengan para peri yang
mempunyai kelebihan luar biasa, mereka kocar kacir demi mendapat serangan dari
udara, laksana tikus dan kelinci yang disergap oleh rajawali, mereka
kalangkabut karena tidak bisa membalas serangan para peri yang begitu cepat dan
dasyat. Jeritan bala tentara bathavietchong yang meregang nyawa seperti
serentak dan tiada henti detik demi detik. Anak-anak panah mereka tak satupun
yang berhasil melukai satu peripun, apalagi membunuhnya.
Panglima Perang Bathavietchong
memerintahkan kepada bala tentaranya untuk mundur demi melihat kejadian ini,
bunyi terompet aba-aba mundurpunpun terdengar sumbang dikarenakan peniupnya
ketakutan menyaksikan ketangkasan dan kegesitan tentara peri dalam melumpuhkan
bala tentara Bathavietchong begitu dasyat dan cepatnya laksana petir menyambar,
menyambar lagi, dan terus menyambar tanpa henti. hingga korban berjatuhan
ribuan tentara berserakan tanpa nyawa lagi.
Sementara Raja Serangia
menyaksikan ketakutan dari bala tentara musuh tersenyum senang dan merasa
berterimakasih terhadap bantuan para Peri yang dulu pernah menjadi musuh dalam
peperangan.
Dua hari saja peperangan ini berlangsung,
bala tentara Bathavietchong memutuskan untuk kembali ke negeri mereka dengan
mengalami kekalahan dan ribuan kehilangan tentara. Bala tentara Serangiapun
banyak pula yang gugur demi mempertahankan Kerajaan mereka, namun jumlahnya
hanya ratusan saja. Namun sisa-sisa dari peperangan ini begitu banyak
meninggalkan kerusakan bangunan rumah penduduk dan bangunan yang dibangun oleh
kerjaan Serangia. Butuh tahunan untuk memulihkan kembali keadaan seperti
semula. Sementara mayat-mayat bala tentara Bathavietchong segera di bersihkan
oleh semua tentara Serangia dan dibantu oleh Rakyat dengan cara di kubur massal
di luar tembok belakang Istana.
Maliyanti dan para peri kembali
ke hutan Pandore dengan kelelahan namun membawa kebahagiaan karena tidak
satupun dari mereka ada yang terbunuh, hanya luka-luka ringan terkena goresan
anak-anak panah dari tentara Bathavietchong.
********
Siang itu di rumah Maliyanti,
Nathan, Nail, Itna dan Puteri mereka baru saja selesai menyantap ubi rebus
buatan Itna sambil memperbincangkan Peri Maliyanti. Nathan bercerita tentang
perkenalannya dengan Maiyanti dan kisah indahnya selama pertemanan mereka
hingga akhirnya Nathan jatuh cinta beberapa tahun kemudian. Sedang asyiknya
Nathan bercerita, mereka dikejutkan oleh salam dari Maliyanti yang sudah dua
hari meninggalkan mereka. Lalu tanpa diminta, Maliyanti menceritakan semua yang
dilakukannya bersama para peri hutan untuk membantu Kerajaan Serangia dalam
menghadapi bala tentara Bathavietchong.
Nathan, Nail Itna dan Puteri menyimak
cerita Maliyanti dengan serius dan kagum terhadap para peri yang dengan
sukarela membantu Negeri mereka. Dan pada akhirnya mereka membicarakan
kelanjutan dari kehidupan mereka kedepannya, tentang rencana dan harapan serta
keinginan mereka. Maliyanti akhirnya memaafkan Nathan setelah mendengar
penjelasan Nathan, dan Nathan akhirnya menikahi Maliyanti kemudian mereka hidup
di hutan Pandore untuk beberapa lama, Nathan dan Nail dibantu Maliyanti dan
beberapa Peri membangun sebuah rumah untuk Nail, Itna dan Puteri tinggal.
Puteri Puan Bulan Dingin sedikit demi sedikit mulai membiasakan dirinya dengan
mempunyai dua pasang orangtua yang menyayanginya sepenuh cinta.
Selesai.
Dipersembahkan untuk Isteriku
tersayang, dan ketiga puteriku tercinta.
|