Puteri Puan Bulan Dingin 4 (terakhir)


Selepas Nail, isteri dan anaknya berjarak cukup jauh dari pandangan keremangan malam itu, Nathan pun kembali ke arah dia datang    dan

Rupanya inilah jawaban yang sedari siang membuat perasaan Nathan tak karuan, Nathan dipertemukan dengan sosok yang kini menjadi misteri buatnya.
Sepanjang jalan Nathan terus memikirkan kemiripan paras dari anaknya Nail yang begitu persis   rupanya dengan Maliyant muda, dia tidak habis mengerti mengapa wajah gadis itu begitu sama. Apakah gadis itu memang anaknya Maliyant ? terus Maliyant sendiri ada di mana sekarang ? apakah masih hidup, jika benar masih hidup, mengapa tidak merawat dan membesarkan anaknya ? atau.... tidak, bathin Nathan bergetar, tapi kemudian fikiran buruk itu datang lagi, jangan-jangan Maliyant telah meninggal, mungkin saja pada saat melahirkan ia meninggal. Lalu anaknya diketemukan oleh Nail atau Itna di dekat hutan Pandore. Tapi jarak hutan Pandore ke rumah Nail kan jauh sekali, Nail kan tidak punya kuda, sehingga jika Nail berjalan kaki kesana itu sangat tidak mungkin. Begitulah Nathan mereka-reka kemungkinan kejadian yang terjadi sehingga bisa  masuk akal apabila gadis itu akhirnya dirawat dan dibesarkan oleh Nail dan Isterinya. Tetapi  Nathan tidak menemukan kesimpulan terhadap kemungkinan yang memuaskan pertanyaan dalam hatinya. Akhirnya Nathan memutuskan akan menanyakan hal ini kepada Nailamorena di pasar pagi sore nanti. Nathan membuka pintu masuk rumahnya, kemudian dia menuangkan air dari teko gerabah ke gelas yang terbuat dari gerabah pula, dia menghempaskan pantatnya ke kursi kayu di hadapan meja tempat biasa dia makan, fikirannya kembali mengenang ketika dia pertama kali bertemu dengan Maliyant, saat dia masih remaja, kemudian kenangan manis yang mereka lalui hingga sekira usia mereka seumuran puterinya Nail sekarang ini. Saat itulah pertamakalinya Nathan berani mengungkapkan perasaan hatinya kepada Maliyant yang ternyata disambut baik oleh Maliyant dengan setulus hatinya.  Nathan merasakan benar kebahagiaan yang belum pernah ia alami, dia merasa bangga karena mempunyai seorang tambatan hati yang membalas cintanya dan mempunyai kelebihan dari gadis-gadis di desanya, bahkan di Kerajaan Serangia sekalipun. Nathan memuja Maliyant muda sebagai bidadari cantik dari khayangan, pipinya putih lembut selembut bulu burung Mockingjay, mata yang hitam bening bagaikan berlian langka yang kembar, senyumnya mampu membuat luluh hati baja lumer seperti keju dalam kuali panas pada tungku, suaranya merdu serupa buluh perindu, bahkan dia masih ingat sebagian puisi yang selalu Maliyant ucapkan setiap mereka berduaan pada malam bulan purnama di tepian hutan Pandore.

Engkau rembulan putih yang bulat sempurna,
Sudikan antar rasa ke ujung bahagia,
Karena tuntutan hanya sekali dalam satu purnama,
Untuk purnama berikut yang masih di genggaman misteri masa.

Wahai malam, bermurah hatilah walau sedikit saja kepadaku,
Yang menoreh nama kerinduan di setiap kulit kayu,
Menanggalkan hari pada waktu demi waktu,
Mengharap bunga-bunga asmaranya senantiasa segar tidak melayu,

( I still children, and do not know being mature three of them )


Malam yang sangat panjang, Nathan terus-terusan menerawang ke masa lalu, masa-masa yang indah pada perjalanan cintanya bersama Maliyant, sampai akhirnya fajar memaksanya terbenam dalam bantal bulu rubah di atas dipan kayu jatinya.

*****




Spot Edisi terakhir
 Jauh ke arah timur negeri Serangia, sebuah istana kekaisaran besar berdiri megah dengan penduduknya yang hidup makmur dikarenakan kaisar memiliki  beberapa negeri yang tunduk terhadap kekuasaan sang Raja diraja yang meliputi empat penjuru mata angin wilayah yang berada dalam kekuasaannya.  Dan setiap tahunnya, kekaisarannya mendapatkan upeti yang berlimpah yang kemudian dibagikan kepada setiap rakyatnya tanpa kecuali.
Bathaviechong, adalah sebuah negeri besar yang dipimpin oleh seorang kaisar yang gagah berani, jenius dalam strategi kepemimpinan, peperangan, dan perekonomian, namun haus akan daerah kekuasaan yang tentu saja membuatnya sangat disegani oleh Para Raja yang berada dalam wilayah kekuasaannya tersebut. Telah lama Sang Kaisar mendengar perihal kerajaan Serangia yang konon hidup dalam kesejahteraan dan ketenangan setelah memperoleh kemenangan besar dalam peperangan dan memperoleh kemenangan pula dari kaum Peri dengan waktu yang begitu singkat , Peri hutan Pandore yang sebenarnya sangat ditakuti oleh sebagian besar para Raja manusia dimasa itu. Gaung yang sampai kepada siapapun bila mendengar Kaum Peri Hutan Pandore adalah, kekuatan yang dasyat. Satu orang peri yang mampu berperang sambil terbang dikarenakan memiliki sayap, sebanding dengan seratus orang prajurit terkuat sekalipun, padahal jumlah Peri Hutan Pandore desas desusnya lebih dari tujuh ratus orang, yang masing-masing mempunyai wilayah terbangnya sendiri-sendiri di hutan yang sangat luas tersebut. Maka dapat dibayangkan betapa kuat dan mustahilnya kerajaaan manapun yang ingin menguasai Hutan Pandore bila hanya mengandalkan kekuatan Prajurit Perang. Dalam benak Ghonkhovi, Kaisar negeri Bathaviechong, kerajaan Serangia pastilah menggunakan sihir dalam mengalahkan Kaum Peri tersebut. Begitulah pikiran sang kaisar, yang padahal jauh sekali dengan kenyataan sebenarnya terjadi pada peperangan yang mengharu birukan tersebut. Timbul dalam dalam benak Kaisar untuk memata-matai seluk beluk Kerajaan Serangia sampai sedetil-detilnya. Maka diapun mengumpulkan para telik sandi terlatih dibidang spionase, mulai dari poilitik, ekonomi, budaya, bahkan spiritual untuk dikirim ke kerajaan Serangia. Dan mereka diberi pembekalan terlebih dahulu oleh Sang Kaisar secara langsung di tempat yang sangat rahasia, dengan tujuan agar tidak ada siapapun yang mengetahui kegiatan tersebut.

******



Pagi buta Nathan sudah rapi dan bersiap berangkat ke pasar pagi sore, walaupun dia tahu bahwa di sana pasti masih sepi, dan hanya akan ada beberapa pengirim barang dagangan dan para penjual yang akan menjualkannya.
            Udara dingin menyerap pada kulit Nathan, reflek dia menoleh ke arah hutan Pandore yang terlihat dari depan rumahnya serupa bukit yang menjulang menyentuh sekawanan arakan awan yang terlihat mengabut di bias cahaya bulan tua yang mulai melebur bergulir ke ufuk terbenamnya. Pagi segera menjelang dan suara hiruk pikuk kesibukan akan mulai terdengar di balik pintu-pintu rumah yang dilewati Nathan sepanjang perjalanannya ke pasar. Namun berbeda dari hari biasanya, suasana sepi menemani perjalanan Nathan kali ini, hanya jangkrik yang senantiasa terdengar berisik di kupingnya dengan suara ajakan kawin dari pejantan kepada betinanya, membuatnya sedikit iri. Bergegas langkah kaki Nathan menimbulakan suara alas kakinya terdengar beraturan seperti barisan tentara, plak..plak...plak..plak. Hingga akhirnya tampak dari kejauhan pasar Pagi sore seolah memanggil  langkah kaki Nathan untuk bersegera menghampiri. Matanya mengarah ke kios milik Nail. Masih tertutup dan sepi, namun disekitarannya mulai terlihat pintu-pintu kios yang terbuka, Nathan menghampiri kios pak yang terdekat dengan kiosnya Nail, yaitu kios yang menjual barang barang terbuat dari gerabah.
“Selamat pagi bapak..” Nail memberi salam kepada bapak penjaga kios yang sedikit terperanjat mendengan urukan salam Nathan.
“Selamat pagi juga..” sambil memerhatikan Nathan Bapak penjaga kios itu menelisik. “Oh.. rupanya bapak Nathan, saya sedikit kaget mendengar suara bapak barusan, saya pikir siapa yang sepagi ini hendak berbelanja di kiosku.” Penjaga kios itu melanjutkan.
“Iya pak saya, hehehe.. maaf membuat bapak kaget..” kata Nathan.
“Hmmm, iya gak apa-apa pak Nathan, bapak tidak membuka kios bapak..? saya liat bapak tidak membawa barang sama sekali.” Tanya penjaga kios.
“Iya pak, hari ini saya ada keperluan sama pak Nail, bapak tahukah jam berapa biasanya dia membuka kios..? Nathan menerangkan maksudnya.
“ Oh... pantas saja bapak tidak membawa dagangan, biasanya tidak lama setelah saya buka kios, pak Nail datang pak, mungkin sebentar lagi.” Terang pak penjaga kios.
Nathan tersenyum, “Oh begitu pak, terima kasih pak, saya tunggu di kios saya saja” sahut Nathan pamitan.
“Sama-sama pak Nathan..iya pak silakan” balas penjaga kios.
Nathan menuju kiosnya, namun ia tidak membukanya. Duduk di bangku yang ada di depan kios makanan burung miliknya. Matanya sesekali memandang ke arah Bukit Utara, tempat tinggal Nail beserta keluarganya.
Selang beberapa jam, Nail tidak juga terlihat menampakkan batang hidungnya, Nathan mulai gelisah, pagi sudah lama berlalu dan beberapa orang pelanggannya tidak jadi menghampiri kiosnya yang tutup, hanya menatap kepadanya sambil tersenyum dan menanyakan mengapa kiosnya tidak buka. Hilir mudik orang berbelanja mulai membuat Nathan tidak kerasan dan merasa ia harus pergi dari situ. Dia menatap kembali Bukit Utara, lalu akhirnya dia memilih untuk mendatangi desa tersebut daripada pulang dan menangguhkan pertanyaan yang mengganggu hatinya. Sejenak dia menatap kios gerabah yang sesekali didatangi oleh pembeli. Kemudian Nathan beranjak dan berjalan menuju desa Bukit Utara, dibelinya sedikit makanan untuk bekal di perjalanannya. Beberapa bungkus kue dan satu ruas bambu air nira untuknya minum. Jalanan lebar mulai mengecil ketika Nathan memasuki wilayah kaki bukit, menanjak pula. Hingga hanya jalan setapak yang mengarahkan Nathan ke desa Bukit Utara tersebut. Suasana hening dan sejuk tatkala perjalanan memasuki rimbunan pohon yang menjulang tinggi dengan serakan daun-daun gugur di sekitaran jalan, tercium basahnya daun-daun kering tersebut membuat Nathan menikmati betul perjalanannya.
*******
Puan Bulan Dingin termenung di dipan depan rumahnya, ia masih memikirkan kejadian di pesta Hari Kedamaian Kerajaan Serangia semalam. Matanya yang indah menatap kosong jalan setapak kedalam hutan, pikirannya masih merasa di   pusat kota    Nobayim, hati kecilnya masih bertanya-tanya, siapakah gerangan lelaki stengah baya yang menatapinya kala itu. Ibunyalah yang memberitahukan kepadanya baahwa ada seseorang yang menatap tanpa berkedip kepadanya, untuk itulah ibunya mengajak pulang lebih cepat, padahal acara puncaknya yaitu pelepasan ribuan lampu kertas diterbangkan keudara belumlah mereka saksikan. Walaupun hati ibunya merasa khawatir pada malam itu, mengetahui bahwa dirinya ada yang memerhatikan, dan sepintas ia sempat melirik lelaki yang dimaksud ibunya itu, ia merasa bahwa orang itu tidak begitu asing baginya, pun ia belum pernah mengenalnya, tetapi seperti ada sesuatu yang mengingatkan dia kepada entah siapa.
Tiba-tiba dari kejauhan nampak seorang perempuan seumuran ibunya datang mendekat ke arahnya. Langkah kakinya seperti tergesa dan cepat. Putri puan bulan dingin bangkit dan sedikit beringsut membuka pintu depan rumahnya bersiap untuk masuk, namun ia mengurungkannya. Ia malah memanggil ibundanya untuk segera kedepan rumah yang kala itu tengan disibukkan oleh pekerjaan di dapur seperti biasanya setiap pagi.
“Bundaaa...!!! segera kesini bundaaa..”
Terdengar sahutan dari dalam rumah.
“Iya sebentar...” berbegas Itna menghampiri anaknya yang ada di teras rumah.
“Ada apa anakku..?” tanya Itna lembut.
“Itu ada perempuan sedang menuju kesini bun.sepertinya puteri baru melihatnya kali ini, apa bunda kenal..?
Itna berdiri disamping anaknya dan ikut memerhatikan dengan seksama seorang perempuan dari kejauhan sedang bergegas menuju ke arah rumah mereka.
“Bunda tidak kenal sayangku, siapa yah dia..?” seolah  bertanya pada dirinya sendiri sambil meletakkan tangan kanannya ke pundak Putri Puan Bulan Dingin, Itna akhirnya menunggu hingga perempuan itu tiba di rumah mereka.
“Permisi, Selamat pagi semuanya...” sapa perempuan itu yang tak lain adalah Maliyanti, berdiri tepat dihadapan Itna dan Anaknya.
“Iya selamat pagi juga, ibu sedang mencari siapa...? karena baru kali ini kami melihat ibu. Ma’af, pasti ibu bukan berasal dari sekitar sini. Lanjut Itna.
“Iya, Ibu benar.”sela Maliyanti. Ibu pasti Isterinya Nail kan, dan ini adalah anak angkat kalian”. Maliyanti menatap dan tersenyum manis kepada Putri Puan Bulan Dingin yang masih berdiam diri dan menatap selidik kepada Maliyanti, yang tak lain adalah ibunya sendiri.
“Benar, Ibu siapa...?” penasaran Itna mengkereenyitkan keningnya ingin tahu.
“Nanti saja saya ceritakan, kita harus bergegas. Dimana Nail suami ibu..? Maliyanti seolah kan mengajak pergi mereka.
“Bergegas kemana...? Tanya Itna, dan kenapa dengan suami saya..? Itna mulai sedikit curiga akan terjadi sesuatu pada keluarga mereka.
“Bala tentara kerajaan Bathaviechong, sedang menuju kesini, maksud saya menuju kekerajaan Serangia...”ucap Maliyanti berbarengan dengan suara terompet melengking tinggi dari kejauhan, dari arah Kerajaan.
Serentak mereka mengarahkan pandangan mereka ke arah Kerajaan Serangia.
“Itu suara terompet kerajaan bunda, tanda ada bahaya sedang mendekat..” seolah menjelaskan Puteri Puan Bulan Dingin berujar begitu saja.
“Iya benar...” sahut Itna.
“Iya makanya kita harus pergi dari sini, sejauh mungkin, dimana Nail suami ibu.”tak sabar Maliyanti ingin segera membawa anaknya pergi dari situ.
Tiba-tiba saja dari belakang Maliyanti terdengar suara yang lebih mengejutkan dari suara terompet itu.
“Maliyanti... engkaukah itu..? Nathan sudah berada tepat dibelakang Maliyanti yang masih memunggungi jalan setapak menuju rumah Nail.
“Engkau masih hidup..? gemetaran suara Nathan terdengar jelas sekali.
Maliyanti menoleh perlahan, dan menemukan bentuk wajah yang tidak pernah akan dilupakannya. Mereka saling menatap sekian detik, sebelum akhirnya mereka berempat dikejutkan oleh suara Nail dari belakang rumah sambil bertanya.”Ada apa ini, kok ramai banyak orang. Semua akhirnya mengarahkan pandangan mata mereka kepada Nail.
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan Pak, Nail, Hari ini atau paling lambat besok pagi, bala tentara kerajaan Bathaviechong akan tiba di kerjaan Serangia dan pastinya kerajaan Serangia akan hancur binasa, karena saya melihat dari angkasa jumlah mereka sangat banyak, sepuluh kali lipat dari tentara kerajaan ini.”Maliyanti menjelaskan.
“Benarkah itu Maliyanti...? tanya Nail kurang percaya.
“Buat apa saya berbohong, sebaikanya kita pergi sekarang sebelum keadaan menjadi kacau balau, kecuali jika pak Nail dan kamu Nathan, ingin ikut berperang melawan Jutaan Bala tentara Bathaviechong. Karena jumlah mereka terlalu banyak, tidak seimbang dengan jumlah tentara Kerajaan Serangia, walaupun ditambah dengan jumlah penduduk kerajaan Serangia semuanya, termasuk anak kecil dan perempuan, tak akan bisa mengalahkan jumlah mereka. Raja Serangiapun pasti akan menyuruh Rakyatnya untuk mengungsi”. Maliyanti menerangkan kembali.
“Baiklah,” Nathan berujar, “kita akan kemana”. Tanyanya kemudian.
Semua menatap Maliyanti yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah tidak muda lagi.
“Kita kenegeri Peri, Hutan Pandore..”
“Tapi kami tak punya kuda..” sahut Nail.
Maliyanti tersenyum, dan mukanya menegadah kelangit kemudian bersiul kencang.
Sekonyong-konyong empat ekor ikran segera saja menukik kearah mereka diiringi hembusan angin dari sayap-sayap mereka yang kokoh.
“Tidak usah takut kalian, mereka sahabat-sahabatku”, tegas Maliyanti melihat raut muka Nail, Itna dan Puteri Puan Bulan Dingin yang ragu dan takut.
Tanpa banyak bertanya lagi mereka segera menaiki punggung ikran dengan petunjuk dari Maliyanti.

******

Sementara itu bala tentara Kerajaan Bathaviechong sudah melancarkan serangannya di sepanjang perjalanan menuju kerajaan Serangia yang masih bersiap-siap menyambut kedatangan meraka.

Setiap perkampungan yang dilewati oleh bala tentara Bathaviechong, pasti dibumi hanguskan oleh pasukan terdepan, dan tidak disisakan siapapun untuk hidup. Kekejaman yang mengerikan dan menakutkan bagi siapapun yang bertemu langsung dengan tentara-tentara ini.
Telik sandi telah memberitahukan kepada Raja Serangia perihal ini, dan pasukan tentara Serangia bersiaga di pintu-pintu gerbang Istana untuk menyambut peperangan yang sudah pasti dasyat dan menghancurkan mereka semua, tetapi mereka tidak gentar menyambut kematian yang tidak lama lagi akan menjemput demi sebuah sejarah yang akan dikenang oleh siapapun; mendengar keberanian tentara Serangia yang pernah memenangkan peperangan dengan kaum Peri.
******

Para penunggang ikran telah sampai di dalam hutan lebat Pandore, dan mereka berkumpul di rumah Maliyanti yang penuh dengan tanaman bunga, namun terasa hening dan senyap.
“Selamat datang di rumahku, kalian berdiamlah di sini dan jangan sungkan anggap saja ini rumah kalian sendiri. Di dapur ada buah-buahan dan ubi-ubian untuk kalian makan, saya masih ada urusan dengan peri-peri yang lain jadi tidak bisa menemani kalian disini.” Tegas Maliyanti yang begitu saja meselat bersama Toruk Ikrannya ke angkasa tanpa menunggu persetujuan dari mereka.
Nail, Isterinya, Puteri Puan Bulan Dingin dan Nathan hanya bisa terpaku sebelum akhirnya Nail membuka suara.
“Akhirnya kita ada di sini sekarang..” sambil menatap keliling kepada Nathan, Istrinya dan Puteri mereka.
“Yah, kejadian ini begitu tiba-tiba, seolah saya diarahkan untuk menjauh dari peperangan, disaat saya ingin mengetahui sesuatu yang selama ini menjadi kegelisahan saya.” Nathan seolah bergumam.
“Iya benar, saya pertama melihat bapak juga sedikit bingung, ada apakah gerangan bapak Nathan datang ke rumah kami di desa Bukit Utara.” Lanjut Nail.
“saya sebenarnya ingin mengetahui perihal anak bapak dan ibu, karena ia mengingatkan saya kepada seseorang...” terang Nathan sambil melirik ke arah Puteri Puan Bulan Dingin.
Penjelasan maksud kedatangan Nathan ke desa Bukit Utara membuat mereka bertiga saling menatap satu sama lain dan bertanya-tanya.
“Tentang apakah itu wahai Pak Nathan...? kami jadi penasaran?” Itna spontan bertanya. Namun Nathan malah membisu, dia ragu terhadap apa yang hendak disampaikannya, sesekali dia melirik kepada Puteri Puan Bulan Dingin yang sekarang dia yakini sebagai anaknya dari Maliyanti.
“Saya mulai faham sekarang...” Nail membuka suara setelah hening beberapa saat. “Pak Nathan dengan Peri itu dahulu punya cerita yang mengesankan namun sekaligus menyakitkan, bukan begitu pak Nathan..? lanjut Nail menatap Nathan, yang hanya bisa terdiam saja.
“Kami sudah menduga kejadian ini jauh sebelum saya menikahi Itna isteri saya.” gumam Nail.
“Puteriku Puan Bulan Dingin, ayah fikir kamu sudah mengerti arti semua ini sayang.” giliran Puteri Puan Bulan Dingin sekarang yang ditatatap semua orang.
“Iya ayah...” hanya itu yang mampu Puteri ucapkan sambil menunduk menahan semua gejolak rasa yang bercampur aduk.
“Seharusnya kita berbicara tanpa Puteri Puan Bulan Dingin terlebih dahulu..kasihan Puteri kita pak..” sambil menahan isak Itna bersuara.
“Saya fikir juga begitu tadinya pak Nail.”
“Tidak bu, pak Nathan, semakin cepat Puteri Puan Bulan Dingin mengetahui ini semua semakin baik buat dirinya.”lontar Nail.
“Tapi seharusnya kita menunggu Maliyanti dulu sebelum kita berbicara.” Tukas Nathan.
Nail tersenyum kecut, “Saya rasa, kedatangan Peri ke rumah kami tadi sudah memberi penjelasan yang tidak langsung bagi Puteri, karena Puteri sudah mengetahui perihal ibu kandungnya pak Nathan, walaupun dia belum pernah bertemu ataupun melihatnya. “jelas Nail gamblang.
“Baiklah jika begitu, engkau tidak apa-apa Puteri” sahut Nathan lembut.
Puteri Puan Bulan Dingin mengangguk lalu menatap Nathan dengan genangan air mata yang siap tumpah.
“Iya pak, Puteri tidak apa-apa, Puteri sudah mempersiapkan diri Puteri jika ini terjadi, Puteri sudah tahu jika yang membesarkan Puteri selama ini bukan orangtua kandung Puteri, dan sekarang Puteri tahu jika ibu yang melahirkan Puteri adalah ibu Peri yang tadi, dan bapak kandung Puteri adalah Bapak Nathan.”ujar Puteri Puah Bulan Dingin sambil menyeka air matanya yang telah luruh.
“Tapi Puteri bingung harus bersikap bagaimana sekarang...” lanjutnya.
“Puteri, Puteri tidak usah memikirkan bagaimana harus bersikap seperti apa, saya hanya ingin mengetahui bahwa saya ternyata punya seorang anak dari Maliyanti, itu saja. Orang tua Puteri tetap orangtua yang selama ini telah membesarkan Puteri, menyayangi Puteri dan merawat Puteri hingga sekarang besar.” Terang Nathan panjang lebar.
“Karena sesungguhnya saya juga tidak tahu jika ternyata saya mempunyai seorang anak, nanti saya ceritakan dengan gamblang semuanya setelah Maliyanti kembali kesini.”lanjut Nathan.
Beberapa lama kemudian mereka akhirnya terdiam dengan lamunan masing-masing sambil menunggu Maliyanti kembali.
Hingga malam tiba Maliyanti belum juga kembali, akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat dan tidur di rumah Maliyanti yang hanya terdapat satu kamar, Itna dan Puteri tidur di dalam kamar, sementara Nathan dan Nail tidur di ruang yang terdapat gelaran kulit rusa yang cukup bagi mereka untuk bisa istirahat dengan nyaman.

**********
Maliyanti berhasil meyakinkan akan pentingnya Kerajaan Serangia bagi kehidupan para peri di hutan Pandore, sehingga para peri setuju untuk membantu bala tentara Serangia berperang melawan tentara-tentara Bathavietchong hingga titik darah penghabisan. Dan mereka dengan jumlah sekira seribu peri terbang melesat menuju Kerajaan Serangia dengan cepat, laksana kilat, sebentar saja mereka sudah berada di kerajaan Serangia yang tengah terkepung oleh bala tentara Bathavietchong dari segala arah mata angin.
Maliyanti yang kala itu memimpin pasukan peri langsung memberi aba-aba untuk menyerang tentara musuh, sementara dia dengan Toruk Ikrannya menukik ke Istana Raja untuk menemui Raja Serangia.
Anak-anak panah dari kedua bala tentara berterbangan diudara, membuat langit dipenuhi anak-anak panah dan menutupi sinar matahari. Tentara Bathavietchong sangat terkejut dengan kedatangan para peri, mereka tidak mengira akan bertempur dengan para peri yang mempunyai kelebihan luar biasa, mereka kocar kacir demi mendapat serangan dari udara, laksana tikus dan kelinci yang disergap oleh rajawali, mereka kalangkabut karena tidak bisa membalas serangan para peri yang begitu cepat dan dasyat. Jeritan bala tentara bathavietchong yang meregang nyawa seperti serentak dan tiada henti detik demi detik. Anak-anak panah mereka tak satupun yang berhasil melukai satu peripun, apalagi membunuhnya.
Panglima Perang Bathavietchong memerintahkan kepada bala tentaranya untuk mundur demi melihat kejadian ini, bunyi terompet aba-aba mundurpunpun terdengar sumbang dikarenakan peniupnya ketakutan menyaksikan ketangkasan dan kegesitan tentara peri dalam melumpuhkan bala tentara Bathavietchong begitu dasyat dan cepatnya laksana petir menyambar, menyambar lagi, dan terus menyambar tanpa henti. hingga korban berjatuhan ribuan tentara berserakan tanpa nyawa lagi.
Sementara Raja Serangia menyaksikan ketakutan dari bala tentara musuh tersenyum senang dan merasa berterimakasih terhadap bantuan para Peri yang dulu pernah menjadi musuh dalam peperangan.
Dua hari saja peperangan ini berlangsung, bala tentara Bathavietchong memutuskan untuk kembali ke negeri mereka dengan mengalami kekalahan dan ribuan kehilangan tentara. Bala tentara Serangiapun banyak pula yang gugur demi mempertahankan Kerajaan mereka, namun jumlahnya hanya ratusan saja. Namun sisa-sisa dari peperangan ini begitu banyak meninggalkan kerusakan bangunan rumah penduduk dan bangunan yang dibangun oleh kerjaan Serangia. Butuh tahunan untuk memulihkan kembali keadaan seperti semula. Sementara mayat-mayat bala tentara Bathavietchong segera di bersihkan oleh semua tentara Serangia dan dibantu oleh Rakyat dengan cara di kubur massal di luar tembok belakang Istana.
Maliyanti dan para peri kembali ke hutan Pandore dengan kelelahan namun membawa kebahagiaan karena tidak satupun dari mereka ada yang terbunuh, hanya luka-luka ringan terkena goresan anak-anak panah dari tentara Bathavietchong.
********

Siang itu di rumah Maliyanti, Nathan, Nail, Itna dan Puteri mereka baru saja selesai menyantap ubi rebus buatan Itna sambil memperbincangkan Peri Maliyanti. Nathan bercerita tentang perkenalannya dengan Maiyanti dan kisah indahnya selama pertemanan mereka hingga akhirnya Nathan jatuh cinta beberapa tahun kemudian. Sedang asyiknya Nathan bercerita, mereka dikejutkan oleh salam dari Maliyanti yang sudah dua hari meninggalkan mereka. Lalu tanpa diminta, Maliyanti menceritakan semua yang dilakukannya bersama para peri hutan untuk membantu Kerajaan Serangia dalam menghadapi bala tentara Bathavietchong.
Nathan, Nail Itna dan Puteri menyimak cerita Maliyanti dengan serius dan kagum terhadap para peri yang dengan sukarela membantu Negeri mereka. Dan pada akhirnya mereka membicarakan kelanjutan dari kehidupan mereka kedepannya, tentang rencana dan harapan serta keinginan mereka. Maliyanti akhirnya memaafkan Nathan setelah mendengar penjelasan Nathan, dan Nathan akhirnya menikahi Maliyanti kemudian mereka hidup di hutan Pandore untuk beberapa lama, Nathan dan Nail dibantu Maliyanti dan beberapa Peri membangun sebuah rumah untuk Nail, Itna dan Puteri tinggal. Puteri Puan Bulan Dingin sedikit demi sedikit mulai membiasakan dirinya dengan mempunyai dua pasang orangtua yang menyayanginya sepenuh cinta.

Selesai.
Dipersembahkan untuk Isteriku tersayang, dan ketiga puteriku tercinta.    

Popular Posts