Puteri Puan Bulan Dingin ( bag 3 )





Jauh di pedalaman hutan Pandore yang membentang sangat luas dari timur kebarat, kicauan burung dipagi itu serupai suara tangisan pilu Maliyant yang termenung duduk di dipan depan rumahnya. Dia sangat merindukan anak kesayangan yang ia serahkan kepada seorang pencari kayu di pinggiran hutan Pandore belasan tahun silam. Penyesalan yang begitu sangat dirasakan Maliyant timbul beberapa tahun kebelakang, terus menerus perasaan itu menghantuinya setiap ia terbangun dari mimpi-mimpi yang sekarang lebih sering hadir dalam tidurnya. Ingatannya terus tertuju kepada kekasihnya yang telah memberinya seorang anak perempuan yang cantik lagi lucu, yang tak sanggup ia besarkan sendirian di hutan Pandore ini, mengingat kehidupan di dalam hutan pandore bukan tempat yang layak untuk membesarkan seorang anak hasil dari hubungan kaum Peri  dan manusia, apalagi anak yang dilahirkan adalah seorang anak perempuan yang genetiknya lebih mendekati kepada bapaknya yang manusia, tentulah lebih cocok dibesarkan di lingkungan manusia dibanding lingkungan kaum Peri. Begitulah yang difikirkan Maliyant beberapa bulan setelah melahirkan bayi perempuannya yang ia beri nama Puteri Puan Bulan Dingin, terinspirasi dari nama seorang Puteri dari negeri Mongolia, tempat yang sempat Maliyant kunjungi sewaktu mengikuti orangtuanya dalam pertemuan para Peri se dunia di Negeri Mongolia.
Maliyant beranjak dari duduknya, hari ini dia bertekad akan mencari tahu keadaan anak semata wayangnya itu ke tempat kediaman pencari kayu bakar di arah utara hutan Pandore ini. Jarak dari pedalaman hutan Pandore ke tempat kediaman Nailamorena si pencari kayu bakar, sekitar dua hari penerbangan menggunakan Ikran, seekor mirip Kuda terbang berekor naga berkaki seperti cakar elang yang kuat dan tajam adalah hewan tunggangan para  Peri hutan Pandore. Maliyant memang berpindah tempat tinggal setelah kejadian malam terakhir bersama Nathan. Jauh ke pedalaman hutan, bahkan untuk keluar dari situ membutuhkan waktu seharian jika terbang menunggangi Ikran dikarenakan betapa luasnya Hutan Pandore itu, beberapa kali lipat dari luas wilayah yang dikuasai oleh kerajaan Serangia sekalipun.
Setelah Maliyant mempersiapkan perbekalan yang dirasa akan cukup dalam perjalanannya dan sedikit hadiah untuk orang yang telah membesarkan bayinya, ia pun memanggil Ikran kesayangannya dengan siulan melengking panjang. Tidak perlu menunggu lama, Ikran sudah berada di hadapannya, sekali melompat Maliyant sudah berada di punggung sang raja penjelajah terbang itu sambil mendekatkan mulutnya tepat ke telinga sang Ikran. “ Ikran, kita ke arah utara sekarang.” Begitu perintah Maliyant kepada tunggangan andalannya. Sang Ikran hanya mengeluarkan suara” Hrrrrkkk”, tanda dia memahami perintah dari penunggangnya. Dan sekali hentak saja mereka tengah berada di udara melesat laksana Jet tempur yang tengah memburu musuhnya. Sebelum kehilangan sayapnya, Maliyant adalah seorang  penerbang yang handal dan dikagumi oleh peri lain di hutan Pandore tersebut, namun sejak kehilangan sayapnya, andalan sang Peri adalah Ikran jantan yang sekarang menjadi tunggangannya. Lama sudah rasanya Maliyant tidak terbang sejauh ini, sejak peperangan para Peri hutan Pandore dengan ribuan Prajurit Kerajaan Serangia belasan tahun lalu, yang menjadi asal muasal hilangnya sayap di punggung Maliyant sekarang. Entah apa yang menyebabkan Nathan, orang yang di percaya sekaligus kekasih manusianya itu dengan tega memotong kedua sayapnya sehingga ia kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup seorang Peri. 

Apakah Nathan hanya berpura-pura saja dalam mencintainya itu, sehingga dengan mudahnya Maliyant mempercayainya setulus hati dimalam terakhir pertemuan mereka yang ternyata adalah tipu muslihat Nathan dalam membantu Raja Serangia untuk memenangkan peperangan..? begitulah yang diyakini Maliyant selama ini. Tetapi semua pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi menjadi penting sekarang, karena selama belasan tahun ini, para Peri penghuni hutan Pandore dan rakyat kerajaan Serangia saling menjaga jarak perihal keberadaan mereka masing-masing. Para Peri tidak pernah lagi sekalipun menghampiri pinggiran hutan yang berbatasan dengan tanah kerajaan Serangia, bahkan mereka berpindah secara besar-besaran jauh ke pedalaman hutan, begitu juga sebaliknya, masyarakat terdekat dengan hutan Pandore desa Humalucia, tempat di mana Nathan tinggal, tidak pernah lagi berada di sekitaran hutan Pandore. Sehingga kehidupan antara manusia dan kaum Peri benar-benar terisolir oleh jarak dan tidak saling mengetahui kondisi dan situasi, serta kejadian apa saja yang menimpa pada masing-masing negeri.

****
Di dalam kamar, terbaring Puteri Puan Bulan Dingin yang baru tersadar dari pingsannya, dia mengerjapkan matanya kemudian mengucek-ucek dengan tangannya. Kesadarannya perlahan mulai memulih seiring ingatannya kembali dan berfikir sejenak sebelum akhirnya dia mulai menyadari bahwa terakhir ia sedang mengobrol serius dengan kedua orang tuanya, yang kini baru ia tahu bahwa mereka adalah orang tua angkatnya, namun sungguh ia merasakan begitu besar kasih sayang keduanya kepada dirinya. Sebuah pertanyaan besar mulai merasuki dadanya, ia mulai bangun dan berusaha untuk duduk di pinggiran dipan kayu beralaskan bulu-bulu angsa yang di lapisi kain dan di atur sedemikian rupa sehingga nyaman untuk di tiduri. 


Puteri Puan Bulan Dingin merasakan dalam hatinya sesuatu yang bercampur aduk, namun satu yang menjadi rasa ingin tahunya adalah bahwa ibu kandungnya seorang Peri, apa itu peri..? seperti apa rupanya..? apakah ada hubungannya dengan cerita masyarakat desa tentang peperangan belasan tahun lalu sewaktu ia masih sangat kecil..? karena secara tidak sengaja ia pernah mendengar ayahandanya mengobrol dengan temannya dari Kota Nobayim, ibukota kerajaan Serangia, tengah membicarakan perihal kehebatan Prajurit Kerajaan yang memenangi peperangan dengan para Peri Penghuni hutan Pandore yang terkenal tangguh untuk ukuran manusia, dalam waktu yang tidak terlalu lama layaknya perang-perang di kerajaan lain yang biasanya memakan waktu hingga berbulan-bulan. Begitu sekilas Puteri Puan Bulan Dingin sempat mendengarnya sebelum akhirnya cerita itu terlupakan hingga kini, yang mau tidak mau harus diingat-ingatnya kembali sebelum akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada ayahandanya saja.
***

        “Engkau sudah siuman anakku?” suara  ibunya sedetik mengejutkan Puteri Puan Bulan Dingin; Sambil menghampiri anaknya Itna duduk di dipan, tangannya membelai rambut puterinya dengan penuh kelembutan.
“Iya ibu, baru saja” jawab sang anak masih lemas terdengar suaranya.
“Ibu baru selesai memasak makanan kesukaanmu, mau ibu suapin..?” tanya Itna menerangkan kemudian.
Puteri Puan Bulan Dingin tersenyum kecil, membayangkan Sup jamur merang kesukaannya.
“Nanti saja bu, Puteri ingin ketemu bapak dulu, ada yang ingin Puteri tanyakan” jawab Puteri.
“Bapakmu sudah dari tadi pergi kepasar untuk menjual kayu bakar sayang, apa yang hendak kamu tanyakan..? mungkin ibu bisa menjawabnya” balas Itna.
“Hmmm, Puteri cuma ingin tahu rupa Peri yang melahirkan Puteri bu, apakah dia berwujud seperti manusia juga..?” tanya Puteri kepada Itna ibunya, penuh perasaan yang bercampur penasaran.
Itna menghela nafas sejenak sebelum keyakinannya timbul untuk mengatakan wujud Ibu yang melahirkan sekaligus menitipkan Puteri kepada suaminya, Nailamorena.
“Iya sayang, Peri yang melahirkan dan menitipkan kamu kepada bapakmu berwujud manusia seperti kita” jawab Itna lembut.
“Lho, bukankah Peri itu mempunyai sayap bu, Puteri samar-samar ingat percakapan bapak dengan temannya dari Kota, dulu sekali, waktu Puteri masih kecil” heran Puteri kepada ibunya.
“Bapakmu tidak menceritakan jika Peri yang menitipkanmu kepadanya mempunyai sayap, karena waktu itu ayahmu di datangi oleh Peri itu sambil berjalan kaki, dan ayahmu tidak melihat dia terbang setelah menyerahkanmu, dia berjalan kaki pula memunggungi Bapakmu, anakku” yakin Itna tanpa ragu.
“Mungkin peri yang melahirkanmu adalah keturunan dari hasil perkawinan antara manusia dengan Peri seperti kamu anakku, kamu juga tidak mempunyai sayap bukan..? Itna mengambil kesimpulan sendiri guna memenuhi keingintahuan anaknya tersebut.
“Mungkin begitu ya bu, berarti ayahnya Puteri seorang manusia ya bu, bukan Peri, karena jika ayah Puteri golongan Peri juga, tentunya Puteri tidak akan dititipkan kepada Bapak untuk di rawat, dan Puteri pastinya punya sayap dong“ Puteri Puan Bulan Dingin mencoba menarik kesimpulan dari jawaban ibunya untuk kemudian di tafsirkan tentang asal muasalnya Puteri Puan Bulan Dingin berada di desa Bukit Utara ini.
“Hmmm, kamu pandai memperkirakan sesuatu, anakku” Itna tersenyum seolah berhasil memuaskan rasa penasaran Puterinya itu.
“Puteri juga yakin bahwa suatu hari nanti, Peri yang menitipkan Puteri kepada bapak pasti datang untuk mencari Puteri kan bu..?” Puteri masih menyimpan tanya yang mungkin tak akan pernah bisa dijawab ibunya dengan pasti kebenarannya.
“Ibu fikir juga begitu anakku, suatu hari nanti..” balas ibunya mulai merasa takut jika anaknya terus menayainya.
“Kamu sudah agak segaran sekarang, bagaimana jika kita makan dulu, ibu sudah lapar nak, yuk kita makan..” ajak Itna sambil bangkit dari duduk di pinggir dipan.
“Iya bu, Puteri juga sudah mulai lapar nih” jawab Puteri mengikuti gerakan dan mengekor di belakang ibunya.

***
         Hari ini pasar Pagi Sore tidak seperti biasanya penuh dengan orang-orang yang berbelanja, setelah kejadian tadi pagi perihal kenyataan yang Nailamorena ungkapkan kepada Puterinya, Puteri Puan Bulan Dingin, Nailamorena merasakan seperti kehilangan yang teramat sangat, sesuatu yang begitu membuat hidupnya bahagia, seolah Puteri Puan Bulan Dingin akan begitu saja pergi meninggalkan Nailamorena dan Itna untuk selamanya setelah mengetahui bahwa yang membesarkan Puteri Puan Bulan Dingin sedari bayi adalah “hanya” orangtua angkatnya saja. Fikiran itulah yang membuat Nailamorena lupa bahwa hari ini adalah hari kemenangan Peperangan Kerajaan Serangia melawan Penguasa Hutan Pandore delapan belas tahun lalu. 

          Setiap tahun kerajaan Serangia memperingati hari kemenangan ini sebagai “Hari Kedamaian” di pusat Ibukota kerajaan Serangia, Nobayim. Dimana teror yang menakutkan dan menghantui selama ratusan tahun mengenai keangkeran Hutan Pandore ternyata terlalu berlebihan, karena penghuni hutan itu yang sangat ditakuti bahkan menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, sama sekali bukan sesuatu yang perlu ditakuti karena Peri terkuat sekalipun, bisa dikalahkan oleh Prajurit Kerajaan Serangia. Begitu keyakinan yang ditanamkan Raja Serangia kepada rakyatnya agar tidak lagi menganggap hutan Pandore sebagai tempat yang mengerikan. Namun begitu, setelah perang usai, tak ada satupun rakyat Serangia menginjakkan kakinya di sekitaran hutan tersebut. 
Matahari masih belum tergelincir ke arah barat, kayu bakar yang di jajakan oleh Nailamorena telah habis terjual, sehingga ia bisa lebih awal  meninggalkan pasar Pagi Sore itu, namun kini dengan senyum yang sumringah karena wang yang dia bawa hasil dari menjual kayu bakar bisa mencukupi untuk kebutuhan beberapa hari kedepan. Setiap orang yang berpapasan dengannya di jalan menuju Bukit Utara, dia selalu menyapa penuh keriangan. Tidak terasa, rumahnya yang berukuran sedang itu sudah tampak di hadapannya dari jarak sekitar dua puluhan meter. Tak sabar Nailamorena ingin segera tiba di rumahnya dan mengabari Itna isterinya perihal dagangan kayu bakarnya yang habis terjual sebelum tengah hari menggelincir. 

Namun sekonyong-konyong dedaunan kering yang banyak terdapat di sekitaran jalan setapak menuju arah rumah Nailamorena yang teduh karena berbagai macam pepohonan besar tumbuh di kiri kanan jalan setapak itu, berterbangan ditiup angin  kencang menerpa tubuhnya, bahkan wajahnya. Reflek Nailamorena mengibas-kibaskan tangannya di depan mukanya seakan menghalau dedaunan yang masih menerpa wajahnya. Belum habis rasa terkejutnya Nailamorena, di hadapannya sesosok mahluk raksasa menjejakkan kakinya dengan sayap yang masih mengembang, menandakan bahwa mahluk itu baru saja mendarat dari udara dan menghalangi jalan setapak. Tinggi mahluk itu lebih tinggi sedikit dari kuda dan memiliki sayap yang panjang lagi besar, dan muka mahluk itu menutupi pandangan Nailamorena dikarenakan jaraknya yang dekat dengan dirinya. Kejutan ketiga menyusul dan tak kalah membuat jantung Nailamorena berdegub kencang. Yah, Peri yang dulu pernah menitipkan bayi perempuan kepada Nailamorena turun dari atas punggung mahluk itu lalu berjalan menghampiri Nathan, sekejap sekarang sudah berada tepat di hadapan mukanya. Nailamorena begitu terkesima dan bergeming tak mampu menggerakan bahkan pelupuk matanya sekalipun untuk sekedar berkedip. Bagaimana mungkin, belum kering bibir Nailamorena menyampaikan rahasia selama delapan belas tahun perihal Ibu kandung anaknya Puteri Puan Bulan Dingin tadi pagi, sekarang yang diomongin malah sudah berdiri tepat diantara Nailamorena dan rumahnya. Apakah Peri itu mendengar apa yang diucapkannya kepada Puterinya itu, begitu bathin Nailamorena.
“Apa kabarnya bapak pencari kayu bakar..? masih ingat dengan aku..? “ Maliyant menyapa dengan ramah kepada Nailamorena yang setengah mati ketakutan karena rasa terkejut belum lepas dari dalam dadanya.
“P..Pe..Peri..?” Nailamorena tak mampu mengendalikan dirinya yang masih belum percaya kejadian yang menimpanya hari ini.
“Yah..Aku Peri yang menitipkan Bayiku kepadamu dahulu, kenapa sepertinya kamu begitu ketakutan wahai bapak pencari kayu bakar..? apakah wajahku yang sudah mulai tua ini membuatmu seperti melihat hantu..? kelakar Maliyant mencoba untuk mengembalikan suasana hati Nailamorena agar segera bisa mengendalikan gejolak di dadanya.
“Hmm... terus terang, kejadian hari ini begitu luar biasa..” Nailamorena mulai menceritakan kejadian pagi hari, kemudian kejadian di pasar Pagi Sore dan sampai dia di hadang tiba-tiba oleh Maliyant saat ini.
Maliyant terpekur, dahinya berkrenyitan, dan dia pun merasa seperti keheranan, walau akhirnya dia berkata juga.
“Mungkin sang Pencipta Alam memang telah mempersiapkan sedemikian rupa pertemuan kita ini di sini, akupun bisa sampai kesini dikarenakan mimpi-mimpiku yang selalu menggangu tidurku beberapa bulan terakhir ini, dan semakin sering beberapa hari belakangan ini, sehingga aku memutuskan untuk berkunjung sekedar mengetahui keadaan Puteriku yang tidak pernah kulihat semenjak aku titipkan kepadamu” balas  Maliyant panjang.
“Oya, maaf atas kedatanganku yang mendadak dan mengagetkan ini, apalagi kamu pasti belum pernah melihat Toruk Macto bukan, ini adalah teman setiaku dalam melakukan perjalanan jauh, dia seekor Ikran jantan yang gagah menurutku” sambil menoleh kepada Toruk Macto, Maliyant menerangkan perihal tunggangannya.
“Heerrkk...” seolah tahu sedang diperkenalkan, Toruk Macto mengeluarkan suara dari mulutnya seperti kuda meringkik.
“Oh.. ini namanya Toruk Macto, Kuda terbang para Peri itu kan..?” Nailamorena seolah tak mau kelihatan asing dengan Ikran tunggangan Maliyant, padahal ia baru sekali ini melihat dengan jelas perihal Ikran sang kuda tebang. Begitu prajurit Kerajaan Serangia kerap kali menyebutnya, padahal bentuk dan rupanya sangat berbeda jauh dengan seekor kuda. Bahkan tidak ada miripnya, kecuali bentuk mukanya yang memang sedikit mirip.
“Apakah Peri datang ke sini karena mau menjemput anak Peri..?” begitu saja ucapan itu meluncur dari mulut Nailamorena tanpa sedikitpun berbasa basi.
Maliyant tertawa kecil dan renyah,”Tidak Bapak Pencari Kayu ” jawab Peri.
“Panggil aku Nailamorena saja Peri” protes Nailamorena karena telinganya merasa terganggu oleh panggilan Peri kepada dirinya dengan sebutan itu.
“Hehehehe... kenapa dulu kita tidak berkenalan yah, bapak Nailamorena..? begitu saja aku mempercayakan bayiku tanpa mengetahui nama bapak, mungkin karena keadaanku yang sangat terburu-buru, sehingga kita malah tidak berkenalan sama sekali” Maliyant merasa lucu dengan kejadian dahulu.
Nailamorena pun tersenyum hambar dan hanya menjawab dengan mengangkat bahu seolah ingin mengatakan dia juga tidak tahu mengapa kejadiannya seperti itu.
“Nama saya Maliyant bapak Nailamorena, saya datang kesini hanya ingin mengetahui kabar dari puteriku. Apakah dia merepotkan kamu, dia pasti sudah besar sekarang yah.” Maliyant mengutarakan maksudnya dengan nada yang datar walaupun bibirnya tersenyum, seolah menenangkan fikiran dan hati Nailamorena yang sedikit gusar dengan menanyakan hal kedatangan Maliyant ke desa Bukit Utara ini.
Sedikit merasa lega Nailamorena pun menjawab bahwa keadaan Puteri Puan Bulan Dingin seperti apa adanya tanpa dilebihkurangkan, dan Nailamorena sedikit bercerita perihal perilaku Puteri yang lemah lembut, makanan kesukaannya, dan rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang hidup dan kehidupan. Maliyant tersenyum seolah merasa cukup mendapatkan informasi itu, dan melegakan hatinya untuk tidak berlama-lama di desa Bukit Utara ini.
“Bapak Nailamorena, saya membawa mas sedikit” sambil mengambil sesuatu dari kantong yang dibawanya, Maliyant meletakkan tiga tumpuk benda berwarna kuning di telapak tangan Nailamorena yang reflek menadahkan kedua tangannya.
“Sebagai tanda terima kasihku kepada bapak yang telah sudi merawat bayiku hingga sekarang ini, aku cukup merasa senang dan bahagia mengetahui keadaan Puteriku baik-baik saja tanpa ada kekurangan sesuatupun, mohon bapak Nailamorena menerima ini sebagai balas budiku yang tidak seberapa kepada Bapak, dibandingkan dengan perjuangan bapak yang membesarkan Puteriku, mohon diterima yah pak, namun mohon dirahasiakan juga perihal pertemuan kita ini, dan bilang saja bahwa mas ini bapak temukan di perjalanan pulang kerumah bapak, aku takut terjadi hal-hal yang diluar dugaan bakal terjadi jika saja puteriku mengetahui kejadian ini” aku pamit dulu bapak Nailamorena. Kapan kapan aku pasti menemui bapak lagi. Sekejap saja Maliyant sudah berada di atas punggung Ikran yang begitu saja melesat keudara tanpa mengindahkan wajah polos Nailamorena yang masih melongo dan terbengong-bengong demi menyaksikan di hadapannya tiga tumpuk batang mas seukuran dua jari tangan yang mengkilat menyilaukan matanya. Dia hanya sanggup menatap kepergian Maliyant tanpa berkata apapun dikarenakan masih takjub dengan batangan mas yang dibawa oleh Maliyant untuknya, Peri yang menitipkan bayi kepadanya.
***
           Sore itu di kampung Humalucia Nathan medadak mempunyai perasaan yang aneh, seperti ada sesuatu yang akan terjadi pada dirinya. Sesuatu yang tidak bagus, jantungnya berdetak kencang tanpa ada sebab yang diketahuinya, tiba-tiba saja hatinya jadi gelisah tak karuan. Padahal ia sama sekali tidak sedang mengalami masalah, tidak dalam situasi yang buruk. Ini seperti pertanda sesuatu yang akan terjadi. Begitu bathin Nathan berkata. Tetapi apa gerangan yang akan terjadi..?. Seharian ini Nathan tidak ke pasar Pagi Sore seperti hari biasanya. Perasaannya benar-benar lagi kacau tak karuan. Matanya tak sadar mengarah ke hutan Pandore, jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan Peri Maliyant, tapi untuk pergi kesana dia tidak mempunyai keberanian yang kuat, karena rasa bersalahnya yang begitu dalam dan kesulitan  dia  untuk  mengatakan  alasan  mengapa  dia  tega  menghilangkan sayap Maliyant di waktu lalu itu.
Sungguh Nathan tidak menemukan kata-kata yang pas untuk meyakinkan Maliyant bahwa tindakannya itu untuk kebaikan Maliyant sendiri, tetapi apakah Maliyant akan memercayainya begitu saja.

           Nathan tahu pasti sifat Maliyant yang keras kepala, bahkan mungkin Maliyant menaruh dendam kepadanya. Akhirnya Nathan hanya mampu berdo’a kepada Sang Pencipta Alam, semoga Maliyant dalam keadaan baik-baik saja dan tidak mengalami sesuatu yang buruk setelah kedua sayapnya hilang.
Alih-alih Nathan tidak bisa menghentikan kegelisahannya, iapun bersegera merapikan diri untuk mengikuti Pesta memperingati Hari Kedamaian di pusat Ibukota Nobayim, siapa tahu perasaan ini jadi berkurang atau bahkan hilang, gumam Nathan mulai sedikit lega.
***
          Malam mulai menjelang, lampu-lampu lampion warna putih terang terpasang berjejer rapi di sepanjang jalan menuju Ibukota Nobayim dari arah desa manapun. Keadaan dan suasananya begitu benderang riang, suara anak-anak berlarian di jalanan sambil membawa bekal makanan untuk sekedar cemilan dalam menikmati hiburan dan permainan yang disediakan oleh pihak kerajaan dengan gratis, dan sudah pasti akan menyenangkan apalagi ini hanya terjadi setiap satu tahun sekali. Anak remaja putri bergerombol terdengar mengobrol sambil berjalan menuju pusat kota, demikian juga anak remaja pria, kurang lebih sama keadaannya dengan anak remaja putri. Sementara bapak-bapak dan ibu-ibu mereka berjalan di belakang mereka sambil membawa perbekalan makanan pula. Semuanya terlihat riang gembira, berjalan sambil membicarakan wahana-wahana yang akan mereka naiki, atau hiburan tontonan drama yang akan mereka saksikan, kecuali Nathan yang berjalan sendirian mengukuri setapak demi setapak langkahnya gontai mengikuti rombongan. Wajahnya sesekali saja terihat tersenyum karena bertemu dengan orang yang dikenalnya menyapa. Selebihnya kekosongan saja yang terlihat dari sorot mata Nathan hingga akhirnya tiba pulalah ia di pusat kota bersamaan dengan masyarakat dari desa lain. Suara tabuh-tabuhan dari alat musik kerajaan dan suara wahana-wahana seperti lonceng kereta kuda berhiaskan pernak pernik seperti kencana atau mas yang sangat jarang bisa dinaiki masyarakat biasa, sampai suara rampak dari para penari di atas panggung kayu papan yang menggegap gempitakan, sungguh menghibur setiap orang yang menyaksikannya. Kecuali Nathan yang hingga malam semakin larut, perasaan gelisahnya melarutkan lamunannya juga, terhadap Maliyant ketika hubungannya dengan Maliyant masih seumuran jagung, ketika mereka masih remaja, ketika semuanya terasa manis dan manis, bahkan kemarahan Maliyant adalah kemarahan yang memesona bagi Nathan. Matanya menatap hampa kepada para penari yang sedang mempertontonkan gemulai gerakan demi gerakan kompak serentak yang indah sekali. Namun kemudian dada seperti dihantam godam yang sangat keras. Jantungnya seakan berhenti berdegub, belum habis lamunannya semasa remaja dan beranjak dewasa muda bersama Maliyant, kini di ujung pandang matanya sesosok gadis muda tampak sebagai Maliyant muda, bagaikan pinang dibelah kampak. Dia benar-benar Maliyant muda. Sejurus saja kakinya melangkah mendekat menghampiri  dari arah kanan gadis tersebut. Jantung Nathan sungguh berdegub tidak karuan, berdebar seolah mengalami ketidakpercayaan pada matanya, demi mendekati gadis itu dia sama sekali tidak melepaskan pandangan matanya, takut jika gadis itu berpindah tempat berdiri Nathan akan kehilangan sosok yang membuatnya sangat penasaran walaupun kondisi menuju ke depan panggung sangat penuh dengan masyarakat yang sedang asik menikmati suguhan tarian demi tarian, Nathan tidak memedulikannya ketika harus berdesakan dan menyenggol kiri kanan bukan saja badannya, tangannya, tetapi juga kakinya yang terus-terusan tersandung kaki-kaki penonton. Bahkan ada nada protes dari beberapa penonton yang merasa terganggu dengan langkah Nathan. Bersebelahan dengan gadis itu sekarang, Nathan tak mampu lagi menahan gejolak jiwanya, inginnya ia menyentuh bahu gadis itu. Namun niatnya urung dilakukan setelah seorang wanita seumur dengan Nathan berbicara sedikit kencang menawari bekal cemilan yang dibawanya.
“Puteri, ini bekal cemilanmu sambil dimakan” kata wanita tersebut.
“Iya ibu..” balas gadis muda itu sambil mengambil beberapa buah penganan yang ditawarkan kepadanya.
“Oh.. nama gadis itu Puteri, hampir saja aku menjadi malu karena mengira ia adalah Maliyant” bathin Nathan sedikit kecewa. Tapi dia sungguh merasa penasaran, mengapa gadis muda ini mirip sekali dengan Maliyant muda, dan wanita yang dipanggilnya ibu itu, hmmm... sungguh tidak ada kemiripan sama sekali. Tiba-tiba saja Nathan merasa yakin, jangan-jangan gadis muda ini adalah anak Maliyant dengan dirinya. 

            Karena gadis ini mirip dengan Maliyant muda, bagai pinang dibelah dua. Tak ada sesuatupun yang membedakannya. Sedikit cemas namun berharap banyak, Nathan akhirnya menjauhi gadis tersebut namun masih terus mengamati dari jarak yang tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh, supaya Nathan bisa leluasa dan tidak menimbulkan kecurigaan dalam mengamati gerak gerik gadis muda yang bernama Puteri tersebut. Nathan akan menunggu sampai gadis muda itu berlalu dari depan panggung, dan mencari tahu berasal dari desa atau kampung mana gadis muda tersebut.
        Malam sudah mulai larut, perlahan masyarakat yang menikmati suasana gembira di pusat ibukota ini sedikit demi sedikit berkurang karena pulang. Tidak terkecuali dengan Puteri dan ibunya yang mulai beranjak dari depan panggung dan meninggalkan pusat keramaian mengikuti beberapa gerombolan ibu dan anak, atau bapak dan anak, bahkan ibu bapak dan anak sambil mengungkapkan kepuasan antara satu dengan lainnya. Nathan mulai membuntuti gadis muda dan ibunya tersebut dari jarak yang cukup dekat. Belum lama Nathan mengekor kedua ibu dan anak itu, dari belakang terdengar suara memanggil gadis muda dan ibunya.
“Puteri, Itna, tunggu bapak” teriak suara itu lumayan keras, sehingga membuat orang-orang di depannya spontan menoleh kebelakang termasuk Puteri dan Ibunya sambil menghentikan langkah mereka. Sementara Nathan yang mengekor dari belakang pura-pura pula ikut menoleh seolah spontan, padahal menutupi gerak-geriknya yang sedang membuntuti Puteri. Tetapi sungguh diluar dugaannya, pemilik suara itu tak lain adalah penjual kayu bakar di pasar Pagi Sore yang sudah ia kenal lama. Sedikit terperanjat Nathan akhirnya memalingkan mukanya takut jika ia dikenali oleh Nail, sambil terus berpura pura tak memerdulikan Puteri dan ibunya yang baru saja ia lewati, dan dengan sedikit tergesa ia membelokan arah langkah kakinya menuju jalan yang berbeda dengan Puteri dan ibunya, karena sekarang Nathan tahu tempat tinggal Nail adalah di desa Bukit Utara.


****

 bersambung.....

Popular Posts