Puteri Puan Bulan Dingin ( bag 3 )
Jauh di pedalaman
hutan Pandore yang membentang sangat luas dari timur kebarat, kicauan burung
dipagi itu serupai suara tangisan pilu Maliyant yang termenung duduk di dipan
depan rumahnya. Dia sangat merindukan anak kesayangan yang ia serahkan kepada
seorang pencari kayu di pinggiran hutan Pandore belasan tahun silam. Penyesalan
yang begitu sangat dirasakan Maliyant timbul beberapa tahun kebelakang, terus
menerus perasaan itu menghantuinya setiap ia terbangun dari mimpi-mimpi yang
sekarang lebih sering hadir dalam tidurnya. Ingatannya terus tertuju kepada
kekasihnya yang telah memberinya seorang anak perempuan yang cantik lagi lucu,
yang tak sanggup ia besarkan sendirian di hutan Pandore ini, mengingat
kehidupan di dalam hutan pandore bukan tempat yang layak untuk membesarkan
seorang anak hasil dari hubungan kaum Peri dan manusia, apalagi anak yang dilahirkan
adalah seorang anak perempuan yang genetiknya lebih mendekati kepada bapaknya
yang manusia, tentulah lebih cocok dibesarkan di lingkungan manusia dibanding
lingkungan kaum Peri. Begitulah yang difikirkan Maliyant beberapa bulan setelah
melahirkan bayi perempuannya yang ia beri nama Puteri Puan Bulan Dingin,
terinspirasi dari nama seorang Puteri dari negeri Mongolia, tempat yang sempat
Maliyant kunjungi sewaktu mengikuti orangtuanya dalam pertemuan para Peri se
dunia di Negeri Mongolia.
Maliyant beranjak dari duduknya, hari ini
dia bertekad akan mencari tahu keadaan anak semata wayangnya itu ke tempat
kediaman pencari kayu bakar di arah utara hutan Pandore ini. Jarak dari pedalaman
hutan Pandore ke tempat kediaman Nailamorena si pencari kayu bakar, sekitar dua
hari penerbangan menggunakan Ikran, seekor mirip Kuda terbang berekor naga berkaki seperti
cakar elang yang kuat dan tajam adalah hewan tunggangan para Peri hutan Pandore. Maliyant memang berpindah
tempat tinggal setelah kejadian malam terakhir bersama Nathan. Jauh ke pedalaman
hutan, bahkan untuk keluar dari situ membutuhkan waktu seharian jika terbang
menunggangi Ikran dikarenakan betapa luasnya Hutan Pandore itu, beberapa kali
lipat dari luas wilayah yang dikuasai oleh kerajaan Serangia sekalipun.
Setelah Maliyant mempersiapkan perbekalan
yang dirasa akan cukup dalam perjalanannya dan sedikit hadiah untuk orang yang
telah membesarkan bayinya, ia pun memanggil Ikran kesayangannya dengan siulan
melengking panjang. Tidak perlu menunggu lama, Ikran sudah berada di
hadapannya, sekali melompat Maliyant sudah berada di punggung sang raja
penjelajah terbang itu sambil mendekatkan mulutnya tepat ke telinga sang Ikran.
“ Ikran, kita ke arah utara sekarang.” Begitu perintah Maliyant kepada tunggangan
andalannya. Sang Ikran hanya mengeluarkan suara” Hrrrrkkk”, tanda dia memahami
perintah dari penunggangnya. Dan sekali hentak saja mereka tengah berada di
udara melesat laksana Jet tempur yang tengah memburu musuhnya. Sebelum
kehilangan sayapnya, Maliyant adalah seorang penerbang yang handal dan dikagumi oleh peri
lain di hutan Pandore tersebut, namun sejak kehilangan sayapnya, andalan sang
Peri adalah Ikran jantan yang sekarang menjadi tunggangannya. Lama sudah
rasanya Maliyant tidak terbang sejauh ini, sejak peperangan para Peri hutan
Pandore dengan ribuan Prajurit Kerajaan Serangia belasan tahun lalu, yang
menjadi asal muasal hilangnya sayap di punggung Maliyant sekarang. Entah apa
yang menyebabkan Nathan, orang yang di percaya sekaligus kekasih manusianya itu
dengan tega memotong kedua sayapnya sehingga ia kehilangan sesuatu yang sangat
berharga dalam hidup seorang Peri.
Apakah Nathan hanya berpura-pura saja dalam mencintainya itu, sehingga dengan mudahnya Maliyant mempercayainya setulus hati dimalam terakhir pertemuan mereka yang ternyata adalah tipu muslihat Nathan dalam membantu Raja Serangia untuk memenangkan peperangan..? begitulah yang diyakini Maliyant selama ini. Tetapi semua pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi menjadi penting sekarang, karena selama belasan tahun ini, para Peri penghuni hutan Pandore dan rakyat kerajaan Serangia saling menjaga jarak perihal keberadaan mereka masing-masing. Para Peri tidak pernah lagi sekalipun menghampiri pinggiran hutan yang berbatasan dengan tanah kerajaan Serangia, bahkan mereka berpindah secara besar-besaran jauh ke pedalaman hutan, begitu juga sebaliknya, masyarakat terdekat dengan hutan Pandore desa Humalucia, tempat di mana Nathan tinggal, tidak pernah lagi berada di sekitaran hutan Pandore. Sehingga kehidupan antara manusia dan kaum Peri benar-benar terisolir oleh jarak dan tidak saling mengetahui kondisi dan situasi, serta kejadian apa saja yang menimpa pada masing-masing negeri.
Apakah Nathan hanya berpura-pura saja dalam mencintainya itu, sehingga dengan mudahnya Maliyant mempercayainya setulus hati dimalam terakhir pertemuan mereka yang ternyata adalah tipu muslihat Nathan dalam membantu Raja Serangia untuk memenangkan peperangan..? begitulah yang diyakini Maliyant selama ini. Tetapi semua pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi menjadi penting sekarang, karena selama belasan tahun ini, para Peri penghuni hutan Pandore dan rakyat kerajaan Serangia saling menjaga jarak perihal keberadaan mereka masing-masing. Para Peri tidak pernah lagi sekalipun menghampiri pinggiran hutan yang berbatasan dengan tanah kerajaan Serangia, bahkan mereka berpindah secara besar-besaran jauh ke pedalaman hutan, begitu juga sebaliknya, masyarakat terdekat dengan hutan Pandore desa Humalucia, tempat di mana Nathan tinggal, tidak pernah lagi berada di sekitaran hutan Pandore. Sehingga kehidupan antara manusia dan kaum Peri benar-benar terisolir oleh jarak dan tidak saling mengetahui kondisi dan situasi, serta kejadian apa saja yang menimpa pada masing-masing negeri.
****
Di dalam kamar, terbaring Puteri Puan Bulan
Dingin yang baru tersadar dari pingsannya, dia mengerjapkan matanya kemudian
mengucek-ucek dengan tangannya. Kesadarannya perlahan mulai memulih seiring
ingatannya kembali dan berfikir sejenak sebelum akhirnya dia mulai menyadari
bahwa terakhir ia sedang mengobrol serius dengan kedua orang tuanya, yang kini
baru ia tahu bahwa mereka adalah orang tua angkatnya, namun sungguh ia merasakan
begitu besar kasih sayang keduanya kepada dirinya. Sebuah pertanyaan besar
mulai merasuki dadanya, ia mulai bangun dan berusaha untuk duduk di pinggiran
dipan kayu beralaskan bulu-bulu angsa yang di lapisi kain dan di atur
sedemikian rupa sehingga nyaman untuk di tiduri.
Puteri Puan Bulan Dingin merasakan dalam hatinya sesuatu yang bercampur aduk, namun satu yang menjadi rasa ingin tahunya adalah bahwa ibu kandungnya seorang Peri, apa itu peri..? seperti apa rupanya..? apakah ada hubungannya dengan cerita masyarakat desa tentang peperangan belasan tahun lalu sewaktu ia masih sangat kecil..? karena secara tidak sengaja ia pernah mendengar ayahandanya mengobrol dengan temannya dari Kota Nobayim, ibukota kerajaan Serangia, tengah membicarakan perihal kehebatan Prajurit Kerajaan yang memenangi peperangan dengan para Peri Penghuni hutan Pandore yang terkenal tangguh untuk ukuran manusia, dalam waktu yang tidak terlalu lama layaknya perang-perang di kerajaan lain yang biasanya memakan waktu hingga berbulan-bulan. Begitu sekilas Puteri Puan Bulan Dingin sempat mendengarnya sebelum akhirnya cerita itu terlupakan hingga kini, yang mau tidak mau harus diingat-ingatnya kembali sebelum akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada ayahandanya saja.
Puteri Puan Bulan Dingin merasakan dalam hatinya sesuatu yang bercampur aduk, namun satu yang menjadi rasa ingin tahunya adalah bahwa ibu kandungnya seorang Peri, apa itu peri..? seperti apa rupanya..? apakah ada hubungannya dengan cerita masyarakat desa tentang peperangan belasan tahun lalu sewaktu ia masih sangat kecil..? karena secara tidak sengaja ia pernah mendengar ayahandanya mengobrol dengan temannya dari Kota Nobayim, ibukota kerajaan Serangia, tengah membicarakan perihal kehebatan Prajurit Kerajaan yang memenangi peperangan dengan para Peri Penghuni hutan Pandore yang terkenal tangguh untuk ukuran manusia, dalam waktu yang tidak terlalu lama layaknya perang-perang di kerajaan lain yang biasanya memakan waktu hingga berbulan-bulan. Begitu sekilas Puteri Puan Bulan Dingin sempat mendengarnya sebelum akhirnya cerita itu terlupakan hingga kini, yang mau tidak mau harus diingat-ingatnya kembali sebelum akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada ayahandanya saja.
***
“Engkau sudah siuman anakku?” suara ibunya sedetik mengejutkan Puteri Puan Bulan
Dingin; Sambil menghampiri anaknya Itna duduk di dipan, tangannya membelai
rambut puterinya dengan penuh kelembutan.
“Iya ibu, baru saja” jawab sang anak masih lemas
terdengar suaranya.
“Ibu baru selesai memasak makanan kesukaanmu, mau
ibu suapin..?” tanya Itna menerangkan kemudian.
Puteri Puan Bulan Dingin tersenyum kecil,
membayangkan Sup jamur merang kesukaannya.
“Nanti saja bu, Puteri ingin ketemu bapak dulu, ada
yang ingin Puteri tanyakan” jawab Puteri.
“Bapakmu sudah dari tadi pergi kepasar untuk
menjual kayu bakar sayang, apa yang hendak kamu tanyakan..? mungkin ibu bisa
menjawabnya” balas Itna.
“Hmmm, Puteri cuma ingin tahu rupa Peri yang
melahirkan Puteri bu, apakah dia berwujud seperti manusia juga..?” tanya Puteri
kepada Itna ibunya, penuh perasaan yang bercampur penasaran.
Itna menghela nafas sejenak sebelum keyakinannya
timbul untuk mengatakan wujud Ibu yang melahirkan sekaligus menitipkan Puteri
kepada suaminya, Nailamorena.
“Iya sayang, Peri yang melahirkan dan menitipkan
kamu kepada bapakmu berwujud manusia seperti kita” jawab Itna lembut.
“Lho, bukankah Peri itu mempunyai sayap bu, Puteri
samar-samar ingat percakapan bapak dengan temannya dari Kota, dulu sekali,
waktu Puteri masih kecil” heran Puteri kepada ibunya.
“Bapakmu tidak menceritakan jika Peri yang
menitipkanmu kepadanya mempunyai sayap, karena waktu itu ayahmu di datangi oleh
Peri itu sambil berjalan kaki, dan ayahmu tidak melihat dia terbang setelah
menyerahkanmu, dia berjalan kaki pula memunggungi Bapakmu, anakku” yakin Itna
tanpa ragu.
“Mungkin peri yang melahirkanmu adalah keturunan
dari hasil perkawinan antara manusia dengan Peri seperti kamu anakku, kamu juga
tidak mempunyai sayap bukan..? Itna mengambil kesimpulan sendiri guna memenuhi
keingintahuan anaknya tersebut.
“Mungkin begitu ya bu, berarti ayahnya Puteri
seorang manusia ya bu, bukan Peri, karena jika ayah Puteri golongan Peri juga,
tentunya Puteri tidak akan dititipkan kepada Bapak untuk di rawat, dan Puteri
pastinya punya sayap dong“ Puteri Puan Bulan Dingin mencoba menarik kesimpulan
dari jawaban ibunya untuk kemudian di tafsirkan tentang asal muasalnya Puteri
Puan Bulan Dingin berada di desa Bukit Utara ini.
“Hmmm, kamu pandai memperkirakan sesuatu, anakku”
Itna tersenyum seolah berhasil memuaskan rasa penasaran Puterinya itu.
“Puteri juga yakin bahwa suatu hari nanti, Peri
yang menitipkan Puteri kepada bapak pasti datang untuk mencari Puteri kan
bu..?” Puteri masih menyimpan tanya yang mungkin tak akan pernah bisa dijawab
ibunya dengan pasti kebenarannya.
“Ibu fikir juga begitu anakku, suatu hari nanti..”
balas ibunya mulai merasa takut jika anaknya terus menayainya.
“Kamu sudah agak segaran sekarang, bagaimana jika
kita makan dulu, ibu sudah lapar nak, yuk kita makan..” ajak Itna sambil
bangkit dari duduk di pinggir dipan.
“Iya bu, Puteri juga sudah mulai lapar nih” jawab
Puteri mengikuti gerakan dan mengekor di belakang ibunya.
***
Hari ini pasar Pagi Sore tidak seperti biasanya
penuh dengan orang-orang yang berbelanja, setelah kejadian tadi pagi perihal
kenyataan yang Nailamorena ungkapkan kepada Puterinya, Puteri Puan Bulan
Dingin, Nailamorena merasakan seperti kehilangan yang teramat sangat, sesuatu
yang begitu membuat hidupnya bahagia, seolah Puteri Puan Bulan Dingin akan
begitu saja pergi meninggalkan Nailamorena dan Itna untuk selamanya setelah
mengetahui bahwa yang membesarkan Puteri Puan Bulan Dingin sedari bayi adalah “hanya”
orangtua angkatnya saja. Fikiran itulah yang membuat Nailamorena lupa bahwa
hari ini adalah hari kemenangan Peperangan Kerajaan Serangia melawan Penguasa
Hutan Pandore delapan belas tahun lalu.
Setiap tahun kerajaan Serangia memperingati hari kemenangan ini sebagai “Hari Kedamaian” di pusat Ibukota kerajaan Serangia, Nobayim. Dimana teror yang menakutkan dan menghantui selama ratusan tahun mengenai keangkeran Hutan Pandore ternyata terlalu berlebihan, karena penghuni hutan itu yang sangat ditakuti bahkan menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, sama sekali bukan sesuatu yang perlu ditakuti karena Peri terkuat sekalipun, bisa dikalahkan oleh Prajurit Kerajaan Serangia. Begitu keyakinan yang ditanamkan Raja Serangia kepada rakyatnya agar tidak lagi menganggap hutan Pandore sebagai tempat yang mengerikan. Namun begitu, setelah perang usai, tak ada satupun rakyat Serangia menginjakkan kakinya di sekitaran hutan tersebut.
Setiap tahun kerajaan Serangia memperingati hari kemenangan ini sebagai “Hari Kedamaian” di pusat Ibukota kerajaan Serangia, Nobayim. Dimana teror yang menakutkan dan menghantui selama ratusan tahun mengenai keangkeran Hutan Pandore ternyata terlalu berlebihan, karena penghuni hutan itu yang sangat ditakuti bahkan menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, sama sekali bukan sesuatu yang perlu ditakuti karena Peri terkuat sekalipun, bisa dikalahkan oleh Prajurit Kerajaan Serangia. Begitu keyakinan yang ditanamkan Raja Serangia kepada rakyatnya agar tidak lagi menganggap hutan Pandore sebagai tempat yang mengerikan. Namun begitu, setelah perang usai, tak ada satupun rakyat Serangia menginjakkan kakinya di sekitaran hutan tersebut.
Matahari masih belum tergelincir ke arah
barat, kayu bakar yang di jajakan oleh Nailamorena telah habis terjual,
sehingga ia bisa lebih awal meninggalkan
pasar Pagi Sore itu, namun kini dengan senyum yang sumringah karena wang yang
dia bawa hasil dari menjual kayu bakar bisa mencukupi untuk kebutuhan beberapa
hari kedepan. Setiap orang yang berpapasan dengannya di jalan menuju Bukit
Utara, dia selalu menyapa penuh keriangan. Tidak terasa, rumahnya yang
berukuran sedang itu sudah tampak di hadapannya dari jarak sekitar dua puluhan
meter. Tak sabar Nailamorena ingin segera tiba di rumahnya dan mengabari Itna
isterinya perihal dagangan kayu bakarnya yang habis terjual sebelum tengah hari
menggelincir.
Namun sekonyong-konyong dedaunan kering yang banyak terdapat di sekitaran jalan setapak menuju arah rumah Nailamorena yang teduh karena berbagai macam pepohonan besar tumbuh di kiri kanan jalan setapak itu, berterbangan ditiup angin kencang menerpa tubuhnya, bahkan wajahnya. Reflek Nailamorena mengibas-kibaskan tangannya di depan mukanya seakan menghalau dedaunan yang masih menerpa wajahnya. Belum habis rasa terkejutnya Nailamorena, di hadapannya sesosok mahluk raksasa menjejakkan kakinya dengan sayap yang masih mengembang, menandakan bahwa mahluk itu baru saja mendarat dari udara dan menghalangi jalan setapak. Tinggi mahluk itu lebih tinggi sedikit dari kuda dan memiliki sayap yang panjang lagi besar, dan muka mahluk itu menutupi pandangan Nailamorena dikarenakan jaraknya yang dekat dengan dirinya. Kejutan ketiga menyusul dan tak kalah membuat jantung Nailamorena berdegub kencang. Yah, Peri yang dulu pernah menitipkan bayi perempuan kepada Nailamorena turun dari atas punggung mahluk itu lalu berjalan menghampiri Nathan, sekejap sekarang sudah berada tepat di hadapan mukanya. Nailamorena begitu terkesima dan bergeming tak mampu menggerakan bahkan pelupuk matanya sekalipun untuk sekedar berkedip. Bagaimana mungkin, belum kering bibir Nailamorena menyampaikan rahasia selama delapan belas tahun perihal Ibu kandung anaknya Puteri Puan Bulan Dingin tadi pagi, sekarang yang diomongin malah sudah berdiri tepat diantara Nailamorena dan rumahnya. Apakah Peri itu mendengar apa yang diucapkannya kepada Puterinya itu, begitu bathin Nailamorena.
Namun sekonyong-konyong dedaunan kering yang banyak terdapat di sekitaran jalan setapak menuju arah rumah Nailamorena yang teduh karena berbagai macam pepohonan besar tumbuh di kiri kanan jalan setapak itu, berterbangan ditiup angin kencang menerpa tubuhnya, bahkan wajahnya. Reflek Nailamorena mengibas-kibaskan tangannya di depan mukanya seakan menghalau dedaunan yang masih menerpa wajahnya. Belum habis rasa terkejutnya Nailamorena, di hadapannya sesosok mahluk raksasa menjejakkan kakinya dengan sayap yang masih mengembang, menandakan bahwa mahluk itu baru saja mendarat dari udara dan menghalangi jalan setapak. Tinggi mahluk itu lebih tinggi sedikit dari kuda dan memiliki sayap yang panjang lagi besar, dan muka mahluk itu menutupi pandangan Nailamorena dikarenakan jaraknya yang dekat dengan dirinya. Kejutan ketiga menyusul dan tak kalah membuat jantung Nailamorena berdegub kencang. Yah, Peri yang dulu pernah menitipkan bayi perempuan kepada Nailamorena turun dari atas punggung mahluk itu lalu berjalan menghampiri Nathan, sekejap sekarang sudah berada tepat di hadapan mukanya. Nailamorena begitu terkesima dan bergeming tak mampu menggerakan bahkan pelupuk matanya sekalipun untuk sekedar berkedip. Bagaimana mungkin, belum kering bibir Nailamorena menyampaikan rahasia selama delapan belas tahun perihal Ibu kandung anaknya Puteri Puan Bulan Dingin tadi pagi, sekarang yang diomongin malah sudah berdiri tepat diantara Nailamorena dan rumahnya. Apakah Peri itu mendengar apa yang diucapkannya kepada Puterinya itu, begitu bathin Nailamorena.
“Apa kabarnya bapak pencari kayu bakar..? masih
ingat dengan aku..? “ Maliyant menyapa dengan ramah kepada Nailamorena yang
setengah mati ketakutan karena rasa terkejut belum lepas dari dalam dadanya.
“P..Pe..Peri..?” Nailamorena tak mampu
mengendalikan dirinya yang masih belum percaya kejadian yang menimpanya hari
ini.
“Yah..Aku Peri yang menitipkan Bayiku kepadamu
dahulu, kenapa sepertinya kamu begitu ketakutan wahai bapak pencari kayu
bakar..? apakah wajahku yang sudah mulai tua ini membuatmu seperti melihat
hantu..? kelakar Maliyant mencoba untuk mengembalikan suasana hati Nailamorena
agar segera bisa mengendalikan gejolak di dadanya.
“Hmm... terus terang, kejadian hari ini begitu luar
biasa..” Nailamorena mulai menceritakan kejadian pagi hari, kemudian kejadian
di pasar Pagi Sore dan sampai dia di hadang tiba-tiba oleh Maliyant saat ini.
Maliyant terpekur, dahinya berkrenyitan, dan dia
pun merasa seperti keheranan, walau akhirnya dia berkata juga.
“Mungkin sang Pencipta Alam memang telah
mempersiapkan sedemikian rupa pertemuan kita ini di sini, akupun bisa sampai
kesini dikarenakan mimpi-mimpiku yang selalu menggangu tidurku beberapa bulan
terakhir ini, dan semakin sering beberapa hari belakangan ini, sehingga aku
memutuskan untuk berkunjung sekedar mengetahui keadaan Puteriku yang tidak
pernah kulihat semenjak aku titipkan kepadamu” balas Maliyant panjang.
“Oya, maaf atas kedatanganku yang mendadak dan
mengagetkan ini, apalagi kamu pasti belum pernah melihat Toruk Macto bukan, ini
adalah teman setiaku dalam melakukan perjalanan jauh, dia seekor Ikran jantan
yang gagah menurutku” sambil menoleh kepada Toruk Macto, Maliyant menerangkan
perihal tunggangannya.
“Heerrkk...” seolah tahu sedang diperkenalkan, Toruk
Macto mengeluarkan suara dari mulutnya seperti kuda meringkik.
“Oh.. ini namanya Toruk Macto, Kuda terbang para
Peri itu kan..?” Nailamorena seolah tak mau kelihatan asing dengan Ikran
tunggangan Maliyant, padahal ia baru sekali ini melihat dengan jelas perihal
Ikran sang kuda tebang. Begitu prajurit Kerajaan Serangia kerap kali
menyebutnya, padahal bentuk dan rupanya sangat berbeda jauh dengan seekor kuda.
Bahkan tidak ada miripnya, kecuali bentuk mukanya yang memang sedikit mirip.
“Apakah Peri datang ke sini karena mau menjemput
anak Peri..?” begitu saja ucapan itu meluncur dari mulut Nailamorena tanpa
sedikitpun berbasa basi.
Maliyant tertawa kecil dan renyah,”Tidak Bapak
Pencari Kayu ” jawab Peri.
“Panggil aku Nailamorena saja Peri” protes Nailamorena
karena telinganya merasa terganggu oleh panggilan Peri kepada dirinya dengan
sebutan itu.
“Hehehehe... kenapa dulu kita tidak berkenalan yah,
bapak Nailamorena..? begitu saja aku mempercayakan bayiku tanpa mengetahui nama
bapak, mungkin karena keadaanku yang sangat terburu-buru, sehingga kita malah
tidak berkenalan sama sekali” Maliyant merasa lucu dengan kejadian dahulu.
Nailamorena pun tersenyum hambar dan hanya menjawab
dengan mengangkat bahu seolah ingin mengatakan dia juga tidak tahu mengapa
kejadiannya seperti itu.
“Nama saya Maliyant bapak Nailamorena, saya datang
kesini hanya ingin mengetahui kabar dari puteriku. Apakah dia merepotkan kamu,
dia pasti sudah besar sekarang yah.” Maliyant mengutarakan maksudnya dengan
nada yang datar walaupun bibirnya tersenyum, seolah menenangkan fikiran dan
hati Nailamorena yang sedikit gusar dengan menanyakan hal kedatangan Maliyant
ke desa Bukit Utara ini.
Sedikit merasa lega Nailamorena pun menjawab
bahwa keadaan Puteri Puan Bulan Dingin seperti apa adanya tanpa
dilebihkurangkan, dan Nailamorena sedikit bercerita perihal perilaku Puteri
yang lemah lembut, makanan kesukaannya, dan rasa ingin tahunya yang begitu
besar tentang hidup dan kehidupan. Maliyant tersenyum seolah merasa cukup
mendapatkan informasi itu, dan melegakan hatinya untuk tidak berlama-lama di
desa Bukit Utara ini.
“Bapak Nailamorena, saya membawa mas sedikit”
sambil mengambil sesuatu dari kantong yang dibawanya, Maliyant meletakkan tiga
tumpuk benda berwarna kuning di telapak tangan Nailamorena yang reflek
menadahkan kedua tangannya.
“Sebagai tanda terima kasihku kepada bapak yang
telah sudi merawat bayiku hingga sekarang ini, aku cukup merasa senang dan
bahagia mengetahui keadaan Puteriku baik-baik saja tanpa ada kekurangan
sesuatupun, mohon bapak Nailamorena menerima ini sebagai balas budiku yang
tidak seberapa kepada Bapak, dibandingkan dengan perjuangan bapak yang
membesarkan Puteriku, mohon diterima yah pak, namun mohon dirahasiakan juga
perihal pertemuan kita ini, dan bilang saja bahwa mas ini bapak temukan di
perjalanan pulang kerumah bapak, aku takut terjadi hal-hal yang diluar dugaan
bakal terjadi jika saja puteriku mengetahui kejadian ini” aku pamit dulu bapak Nailamorena.
Kapan kapan aku pasti menemui bapak lagi. Sekejap saja Maliyant sudah berada di
atas punggung Ikran yang begitu saja melesat keudara tanpa mengindahkan wajah
polos Nailamorena yang masih melongo dan terbengong-bengong demi menyaksikan di
hadapannya tiga tumpuk batang mas seukuran dua jari tangan yang mengkilat
menyilaukan matanya. Dia hanya sanggup menatap kepergian Maliyant tanpa berkata
apapun dikarenakan masih takjub dengan batangan mas yang dibawa oleh Maliyant
untuknya, Peri yang menitipkan bayi kepadanya.
***
Sore itu di kampung Humalucia Nathan medadak
mempunyai perasaan yang aneh, seperti ada sesuatu yang akan terjadi pada
dirinya. Sesuatu yang tidak bagus, jantungnya berdetak kencang tanpa ada sebab
yang diketahuinya, tiba-tiba saja hatinya jadi gelisah tak karuan. Padahal ia
sama sekali tidak sedang mengalami masalah, tidak dalam situasi yang buruk. Ini
seperti pertanda sesuatu yang akan terjadi. Begitu bathin Nathan berkata.
Tetapi apa gerangan yang akan terjadi..?. Seharian ini Nathan tidak ke pasar
Pagi Sore seperti hari biasanya. Perasaannya benar-benar lagi kacau tak karuan.
Matanya tak sadar mengarah ke hutan Pandore, jangan-jangan sesuatu telah
terjadi dengan Peri Maliyant, tapi untuk pergi kesana dia tidak mempunyai
keberanian yang kuat, karena rasa bersalahnya yang begitu dalam dan kesulitan dia untuk
mengatakan alasan mengapa
dia tega menghilangkan sayap Maliyant di
waktu lalu itu.
Sungguh Nathan tidak
menemukan kata-kata yang pas untuk meyakinkan Maliyant bahwa tindakannya itu
untuk kebaikan Maliyant sendiri, tetapi apakah Maliyant akan memercayainya
begitu saja.
Nathan tahu pasti sifat Maliyant yang keras kepala,
bahkan mungkin Maliyant menaruh dendam kepadanya. Akhirnya Nathan hanya mampu
berdo’a kepada Sang Pencipta Alam, semoga Maliyant dalam keadaan baik-baik saja
dan tidak mengalami sesuatu yang buruk setelah kedua sayapnya hilang.
Alih-alih Nathan tidak bisa menghentikan
kegelisahannya, iapun bersegera merapikan diri untuk mengikuti Pesta
memperingati Hari Kedamaian di pusat Ibukota Nobayim, siapa tahu perasaan ini
jadi berkurang atau bahkan hilang, gumam Nathan mulai sedikit lega.
***
Malam mulai menjelang, lampu-lampu lampion warna
putih terang terpasang berjejer rapi di sepanjang jalan menuju Ibukota Nobayim
dari arah desa manapun. Keadaan dan suasananya begitu benderang riang, suara
anak-anak berlarian di jalanan sambil membawa bekal makanan untuk sekedar
cemilan dalam menikmati hiburan dan permainan yang disediakan oleh pihak
kerajaan dengan gratis, dan sudah pasti akan menyenangkan apalagi ini hanya terjadi
setiap satu tahun sekali. Anak remaja putri bergerombol terdengar mengobrol
sambil berjalan menuju pusat kota, demikian juga anak remaja pria, kurang lebih
sama keadaannya dengan anak remaja putri. Sementara bapak-bapak dan ibu-ibu
mereka berjalan di belakang mereka sambil membawa perbekalan makanan pula.
Semuanya terlihat riang gembira, berjalan sambil membicarakan wahana-wahana
yang akan mereka naiki, atau hiburan tontonan drama yang akan mereka saksikan, kecuali
Nathan yang berjalan sendirian mengukuri setapak demi setapak langkahnya gontai
mengikuti rombongan. Wajahnya sesekali saja terihat tersenyum karena bertemu
dengan orang yang dikenalnya menyapa. Selebihnya kekosongan saja yang terlihat
dari sorot mata Nathan hingga akhirnya tiba pulalah ia di pusat kota bersamaan
dengan masyarakat dari desa lain. Suara tabuh-tabuhan dari alat musik kerajaan
dan suara wahana-wahana seperti lonceng kereta kuda berhiaskan pernak pernik
seperti kencana atau mas yang sangat jarang bisa dinaiki masyarakat biasa,
sampai suara rampak dari para penari di atas panggung kayu papan yang menggegap
gempitakan, sungguh menghibur setiap orang yang menyaksikannya. Kecuali Nathan
yang hingga malam semakin larut, perasaan gelisahnya melarutkan lamunannya
juga, terhadap Maliyant ketika hubungannya dengan Maliyant masih seumuran jagung,
ketika mereka masih remaja, ketika semuanya terasa manis dan manis, bahkan
kemarahan Maliyant adalah kemarahan yang memesona bagi Nathan. Matanya menatap
hampa kepada para penari yang sedang mempertontonkan gemulai gerakan demi
gerakan kompak serentak yang indah sekali. Namun kemudian dada seperti dihantam
godam yang sangat keras. Jantungnya seakan berhenti berdegub, belum habis
lamunannya semasa remaja dan beranjak dewasa muda bersama Maliyant, kini di
ujung pandang matanya sesosok gadis muda tampak sebagai Maliyant muda, bagaikan
pinang dibelah kampak. Dia benar-benar Maliyant muda. Sejurus saja kakinya
melangkah mendekat menghampiri dari arah
kanan gadis tersebut. Jantung Nathan sungguh berdegub tidak karuan, berdebar
seolah mengalami ketidakpercayaan pada matanya, demi mendekati gadis itu dia
sama sekali tidak melepaskan pandangan matanya, takut jika gadis itu berpindah
tempat berdiri Nathan akan kehilangan sosok yang membuatnya sangat penasaran
walaupun kondisi menuju ke depan panggung sangat penuh dengan masyarakat yang
sedang asik menikmati suguhan tarian demi tarian, Nathan tidak memedulikannya
ketika harus berdesakan dan menyenggol kiri kanan bukan saja badannya,
tangannya, tetapi juga kakinya yang terus-terusan tersandung kaki-kaki
penonton. Bahkan ada nada protes dari beberapa penonton yang merasa terganggu
dengan langkah Nathan. Bersebelahan dengan gadis itu sekarang, Nathan tak mampu
lagi menahan gejolak jiwanya, inginnya ia menyentuh bahu gadis itu. Namun
niatnya urung dilakukan setelah seorang wanita seumur dengan Nathan berbicara
sedikit kencang menawari bekal cemilan yang dibawanya.
“Puteri, ini bekal cemilanmu sambil dimakan” kata
wanita tersebut.
“Iya ibu..” balas gadis muda itu sambil mengambil
beberapa buah penganan yang ditawarkan kepadanya.
“Oh.. nama gadis itu Puteri, hampir saja aku
menjadi malu karena mengira ia adalah Maliyant” bathin Nathan sedikit kecewa.
Tapi dia sungguh merasa penasaran, mengapa gadis muda ini mirip sekali dengan
Maliyant muda, dan wanita yang dipanggilnya ibu itu, hmmm... sungguh tidak ada
kemiripan sama sekali. Tiba-tiba saja Nathan merasa yakin, jangan-jangan gadis
muda ini adalah anak Maliyant dengan dirinya.
Karena gadis ini mirip dengan Maliyant muda, bagai pinang dibelah dua. Tak ada sesuatupun yang membedakannya. Sedikit cemas namun berharap banyak, Nathan akhirnya menjauhi gadis tersebut namun masih terus mengamati dari jarak yang tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh, supaya Nathan bisa leluasa dan tidak menimbulkan kecurigaan dalam mengamati gerak gerik gadis muda yang bernama Puteri tersebut. Nathan akan menunggu sampai gadis muda itu berlalu dari depan panggung, dan mencari tahu berasal dari desa atau kampung mana gadis muda tersebut.
Karena gadis ini mirip dengan Maliyant muda, bagai pinang dibelah dua. Tak ada sesuatupun yang membedakannya. Sedikit cemas namun berharap banyak, Nathan akhirnya menjauhi gadis tersebut namun masih terus mengamati dari jarak yang tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh, supaya Nathan bisa leluasa dan tidak menimbulkan kecurigaan dalam mengamati gerak gerik gadis muda yang bernama Puteri tersebut. Nathan akan menunggu sampai gadis muda itu berlalu dari depan panggung, dan mencari tahu berasal dari desa atau kampung mana gadis muda tersebut.
Malam sudah mulai larut, perlahan masyarakat yang
menikmati suasana gembira di pusat ibukota ini sedikit demi sedikit berkurang
karena pulang. Tidak terkecuali dengan Puteri dan ibunya yang mulai beranjak
dari depan panggung dan meninggalkan pusat keramaian mengikuti beberapa
gerombolan ibu dan anak, atau bapak dan anak, bahkan ibu bapak dan anak sambil
mengungkapkan kepuasan antara satu dengan lainnya. Nathan mulai membuntuti
gadis muda dan ibunya tersebut dari jarak yang cukup dekat. Belum lama Nathan
mengekor kedua ibu dan anak itu, dari belakang terdengar suara memanggil gadis
muda dan ibunya.
“Puteri, Itna, tunggu bapak” teriak suara itu lumayan
keras, sehingga membuat orang-orang di depannya spontan menoleh kebelakang
termasuk Puteri dan Ibunya sambil menghentikan langkah mereka. Sementara Nathan
yang mengekor dari belakang pura-pura pula ikut menoleh seolah spontan, padahal
menutupi gerak-geriknya yang sedang membuntuti Puteri. Tetapi sungguh diluar
dugaannya, pemilik suara itu tak lain adalah penjual kayu bakar di pasar Pagi
Sore yang sudah ia kenal lama. Sedikit terperanjat Nathan akhirnya memalingkan
mukanya takut jika ia dikenali oleh Nail, sambil terus berpura pura tak
memerdulikan Puteri dan ibunya yang baru saja ia lewati, dan dengan sedikit
tergesa ia membelokan arah langkah kakinya menuju jalan yang berbeda dengan
Puteri dan ibunya, karena sekarang Nathan tahu tempat tinggal Nail adalah di
desa Bukit Utara.
****
bersambung.....