Malam yang abadi



Hujan menghujam bumi dari langit kerubuti tubuh-tubuh kami, penunggang Ikran sang Toruk Macto sehingga membatasi jarak pandang mata yang jauh menatap kedepan dengan khusu susuri letupan dua hati yang terkadang merapat, dilain menit merenggang ikuti irama gelombang angin  yang menerjang kedua sayap Ikran. Sekeliling "bumi dingin menggigil" menimbulkan sensasi kepulan asap tipis yang melambung ke permukaan aspal buton serupa kabut di pegunungan Monteverst  namun tidak sampai membutakan pandangan, seperti abadi "indahnya" tetap memanjakan mata yang memandang "hijaunya" nan teduh. Tetapi hati ini berbara-bara menghempaskan butiran keringat lewati kisi-kisi pori di tubuhku. Seakan mengintip melaluinya dan menularkan aura Amor untuk sesegera mungkin melepaskan anak panah berwarna pink merah mudanya ke satu-satunya jantung di dadaku, yang padahal tugas sang dewa telah dilaksanakan beberapa bulan yang lalu.

Angin masih bertiup dingin membekukan, gelombangnya terkadang membuat oleng Ikran yang kami tunggangi, menerobos hutan Pandore yang terkenal dengan keangkerannya, tempat tinggal sang peri yang duduk di belakangku. Erat ia memeluk pinggangku seakan ia takut terlepas dari duduknya, maklum saja, Ikran adalah penerbang yang gesit dan lincah, dia meliuk-liuk diantara pepohonan pinus yang menjulang tinggi.
“Awas, hati-hati Nathan, ini di sebelah kanan kiri kita banyak ranting pohon pinus yang bisa saja menggores kulit tangan kita.” Begitu Peri mungil memperingatkan aku.
“Tenang saja Periku, aku handal kok mengendalikan Ikran ini, aku pernah juara lomba adu cepat mengitari hutan Pandore lho”. Jawabku meyakinkan Sang Peri.
“Iya, tetapi aku jadi takut jika ranting pohon ini mengenai lenganku, bisa terluka kan bila tergores..”, bela Peri mungilku lagi.
Aku hanya tersenyum dan bergumam,” Tenang saja, aku jamin kamu pasti aman dan tidak akan terjadi apa-apa kepadamu.
“Janji yah..”, tukas sang Peri.
“Iya sayang..”, lanjutku.

Entah kemana tujuan kami kali ini, sungguh belum terpikirkan olehku tujuan dari perjalanan ini. Hanya mengikuti kemana hati ingin mengarahkan Ikran mengelana jauh ke negeri bagian utara mungkin. Di mana salju putihnya masih perawan dan belum banyak dikunjungi para pemburu dan peziarah. Namun aku jadi berfikir bahwa negeri utara dengan salju putihnya terlalu dingin bagiku. Bisa-bisa beku lidahku, padahal banyak hal yang ingin aku katakan pada Periku. Semuanya terekam di dalam otakku seperti lembaran-lembaran yang tertanda cap merah hati dari alur-alur jari jempolku.

Sejurus aku hentakan sayap Ikran melambung ke angkasa. Menerobos atmosfir tinggalkan bumi, terus menjauh dan terus melesat keluar dari jangkauan gravitasi yang mencengkram kakiku untuk tetap berdiri vertikal. Gelap dan dingin angkasa raya mulai kami masuki, gerakan Ikran sepertinya melambat, tidak secepat ketika masih berada pada jangkauan gravitasi bumi. Mata kami terpukau akan pesona alam semesta yang seakan tak berujung ini, sekeliling kami hanya kegelapan, walau di depan kami terlihat benda-benda luar angkasa yang kami kira adalah planet-planet dalam susunan Tatasurya. Tampak dekat nian rembulan yang sering kusaksikan dari bumi ini, kini sepertinya hanya sejangkauan tangan saja bila aku hendak mampir di antara gunung-gunungnya. Kain yang terlanjur basah karena hujan sewaktu di bumi, sedikit menggigilkan tubuhku, atau mungkin ini perasaanku saja, disebabkan aku telah jauh dari rangkaian karma dalam cerita keseharian yang menjadi kenyataan bahwa kaki ini seharusnya tetap menjejak di tanah. Aku tak mengerti ataupun faham mengenai itu semua saat ini. Yang kumengerti saat ini adalah aku memanjakan Peri yang sedari tadi peluk pinggangku erat, entah seperti apa suasana hatinya sekarang dan sedang bersemangat karena perjalanan ini sedikit lebih "bermakna dalam" dari biasanya. Bara di dadaku yang menggelepar ciptakan percikan bunga apinya menembus jantung sang Peri, bahkan hingga ke hati, sebuah rongga yang menjadi singasana sang penguasa Kastil tempat ia disekap [ begitu selalu khayalanku tentang kenyataan yang sesungguhnya]. 

Tiba akhirnya kami di sebuah planet dengan tiga buah bulan, rupanya ini planet yang terkenal itu, orang bumi menyebutnya planet Reinkarna, sebuah planet yang tidak terdaftar dalam susunan Tatasurya karena planet ini dibangun oleh manusia bumi untuk kepentingan wisata semata, plesiran ke angkasa raya. Penduduknya masih jarang, tidak seperti penduduk di bumi yang telah mencapai dua milyaran, sedangkan di sini, paling hanya sekira sembilan juta orang.

Langit mulai menguning oleh lembayung yang memanjang jauh dari penglihatan kami, begitulah kira-kira aku memprediksi waktu dari planet Reinkarna ini. Kami berkeliling mengitari seputan planet ini yang tampak dari atas sini beberapa kota serupa distrik tersebar hampir merata dan berkotak kotak, kontras dan menakjubkan, begitu rapi tertata seperti gambar di atas sketsa kertas yang bersih. Saat ini rupanya sedang musim dingin di sini, salju tampak tertumpuk di pinggiran sepanjang jalan di dalam kota, namun salju di sini tidak begitu dingin bagi kami, atau mungkin pengaruh dari bara yang kami bawa dalam hati kami tengah menghangatkan tubuh kami berdua sehingga kami bahkan merasakan kegerahan yang teramat sangat, bahkan dahaga mulai merasuki tenggorokanku seolah ingin sesegera mungkin menemukan secawan air putih yang tawar, bukan asin karena hanya akan membuat aku semakin bertambah haus dan kering di tenggorokan dan semuanya menjadi tidak beraturan. Kami berhenti di sebuah bangunan yang sepertinya merupakan sebuah rumah makan atau restaurant, kami tambatkan Ikran di depan restaurant tersebut, lalu kami mulai melangkah mendekati pintu masuk, dan kami edarkan pandangankami ke sekeliling, tempat ini terlihat relative masih sepi, sedikit pengunjung yang tampak duduk di beberapa meja yang berisikan empat kursi. Dan semuanya terasa tenang, tidak ada sesuatu yang mencruigakan bagiku, lalu aku hampiri bar terpanjang yang pernah kulihat. Seorang bar tender tersenyum dan menyapa kami lalu menanyakan kebutuhan yang bisa dia bantu untuk kami. Aku hanya memesan minuman soft drink yang mengandung sejenis buah-buahan untuk mengusir hawa membara di dada kami. Lalu kami duduk di sudut ruangan agar kami bisa memantau sekeliling ruangan tersebut dengan jelas sambil menikmati minuman yang kami pesan. Tidak lama minuman kamipun hampir habis lalu aku memtuskan untuk bermalam di sini saja.
***

Pintu Cottage berwarna putih dengan hiasan kaca timah model oval di pintu masuknya menawanku, nyaman di pandang mata, menumbuhkan semangat untuk membuktikan semua  keingintahuanku, apa sebenarnya perasaan yang mengidap di jantung hatiku kepadanya selama ini wahai peri mungilku, bagaimana dengannya pula, apa perasaan yang ada di hatinya, yang sebenarnya. 


        Kami sudah berada di dalam , jantungku berdebaran tak karuan, kalimat apa yang harus aku mulai katakan demi menguji semua rasa ini, yang menghantuiku terus menerus pada setiap malamku dari semenjak kita berjumpa hingga saat ini, hingga detik ini. Hening suara tak terdengar apapun sejauh ini, sekira sepuluh menit kami hanya membisu, aku seolah sibuk meneliti setiap detil yang terdapat di Cottage ini.
Sementara Peri mungilku berkutat dengan mainannya sambil duduk di tepi dipan kayu jati yang kutaksir telah berumur ratusan tahun.

“Cottage ini lumayan nyaman yah..”, aku memulai pembicaraan dengan intonasi datar sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya lalu kunyalakan, mencoba mengusir kegugupanku.
“Iya..”, ujar sang Peri sambil tetap fokus pada mainannya.
Aku mendekat ketempat sang Peri duduk, lalu duduk di sampingnya, dan kumatikan bara rokok yang baru satu kali aku hisap pada asbak yang terdapat di meja sebelah dipan itu.
“Masih sibuk yah..?” tanyaku kacau.
Sang Peri menoleh dan tersenyum dan meletakan mainan itu di pangkuannya,”Enggak juga sih..”jawab sang Peri ringan.
“Katanya ada yang ingin Nathan tahu dari saya, apaan…? “ sergap sang Peri serius.
“Kita udah jauh-jauh datang kesini, tapi Nathan diam aja dari tadi” lanjutnya.
Akupun tersenyum dan mulai merangkai dalam hati kalimat yang akan aku utarakan kepada sang Peri. Namun tiba-tiba aku merasa kesulitan untuk mengeluarkannya, sehingga aku hanya menatap matanya dengan berjuta perasaan  yang sungguh tak mampu aku ungkapkan. Kuraih jemari kedua tangannya lembut, aku ciumi sesaat mencoba menguatkan hatiku untuk berucap, namun tetap saja aku tak mampu berkata sepatah katapun dan kembali aku diam. Seakan lidahku bertulang hingga kaku untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam dalam, cinta. Kami kembali terdiam dan saling berpandangan tanpa ekspresi sambil merasakan kehangatan genggaman kami.
***
Malam mulai larut, sementara fikiranku melayang jauh ke tempat asal kami berangkat, duh, gumamku, sejauh ini perjalanan yang kami tempuh hanya menghasilkan tidak ada. Mengapa sulit sekali mengatakan isi hati yang meremas – remas jantungku ini.
“Peri, kita pulang aja yah ?” ajakku lemah, “hari udah malem soalnya..” lanjutku mencoba menutupi kekacauan suasana hati dan kebuntuan fikiranku.
“Okay..” jawabnya sambil tersenyum, dan tidak tampak rasa kecewa atau ekspresi apapun dari raut mukanya. Akhirnya kamipun beranjak dari kabin ini, dan kami pulang dengan semua perasaan yang masih menggantung dalam harapan dan asa yang tak sempat aku katakan.
***
“Khayalanku, inginnya aku terbang ke bulan, bersama semua keinginan yang aku simpan dalam benak yang senantiasa gak beraturan berharap kesini, berharap begini, berharap kesitu, berharap begitu, padahal aku tahu dan sangat faham ketidak mungkinannya sama sekali tidak ada. Dan aku hanya duduk terdiam layaknya pungguk menatap rembulan lalu kembali ke tempat pembaringanku menunggui waktu yang siapa tahu akan memutar kembali dan aku terlahir sebagai yang kini ada di sampingnya”.
***
Bumi telah tampak, perjalanan pulang yang begitu cepat kurasakan, padahal waktu berangkat tadi siang perjalanan ini terasa jauh. Memasuki atmosfir bumi, tubuh kami yang kedinginan akibat suhu ruang angkasa yang minus sekian mulai menghangat. Ikran yang kami tunggangi tak perlu lagi dikendalikan, seolah dia tahu tujuan kami adalah mengantarkan sang Peri kembali ke hutan Pandore. Tak berapa lama kamipun sampai dan dengan sigap Ikran hinggap di pucuk pohon pinus tertinggi dan kakinya mencengkeram kuat di dahannya menunggu kami turun. Aku tersenyum kepada sang Peri, “Makasih udah mau temenin saya..” ucapku lembut. Diapun tersenyum, “Iya sama-sama, makasih juga udah menjagaku seharian ini, hehehe..” timpalnya, lalu kami tersenyum, dan aku bersiap menaiki punggung Ikran namun sekilas kudengar suaranya sedikit samar, dan aku menoleh. “Kamu bilang sesuatu My girl..?” tanyaku, sang Peri tersenyum dan berujar “ Becareful, I Love You” katanya sambil tersenyum manis. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. “See you soon…” kataku. Lalu Ikran pun mengangkasa membawaku pulang ke peraduanku. I Love You too ..gumamku tersenyum penuh makna.



Matahari telah meninggi saat aku terbangun dari kesadaranku yang lelap oleh buaian mimpi dini hari sebelum fajar menyingsingkan warna oranyenya dari hadapan sang langit penguasa malam. Begitulah keinginan nuansa kalbuku hari ini, dan mungkin untuk seterusnya saja aku berada dalam ketidaksadaranku bahwa aku terus-terusan bermimpi dalam tidur panjang di malam yang abadi, hanya supaya aku merasakan tidak pernah berpisah dari Periku karena terbangun. Biarlah semua orang berpendapat bahwa hidup itu indah, bagiku kini hal terindah adalah mimpi bersamanya ditidur abadiku. Karena kutahu harapan itu hanya teruntuk yang masih hidup dan bernafas dengan kedua tangannya menggenggam satu sama lain dan saling menguatkan dikala matahari terik menyengat maupun disaat hujan badai memaksa tiada satupun kehidupan lalu-lalang di jalanan yang basah licin dan berangin kencang yang memporakporandakan sesaat ranting dan daun pepohonan rindang dan tak mampu lagi bertahan dalam kedamaian.

Aku menutup mataku bersama satu bayangan bintang dari ribuan gemintang yang terkumpul dalam naungan Nebula Jingga yang berhasil aku selamatkan kehangatannya sampai semuanya perlahan akan menghilang seiring waktu yang telah ditentukan diawal penciptaan kecuali bintangku, sang Peri mungil.


Rangkasbitung, 19 Mei 2015



-----*****-----




Popular Posts