Peri mungil



Kutatapi pagi yang gersang di suatu hari yang membosankan dalam aktifitas rutin nan menjengkelkan, burung cuma sekedarnya saja bercoloteh, berisik kudengarkan dendang mereka. Padahal selepas subuh tadi do’a  itu indah dan meresapi jiwaku, sungguh hati ini berbelah belah hadapi sinar mentari yang sebenarnya berfungsi dengan sempurna.
Dalam perjalanan jauh hentakan kaki-kaki yang melepuh, sedikit banyak hamparan kerikil terinjak memerihkan kakiku seolah marah, kunikmati saja. Siapa tahu harapan bagus menungguku dengan setia dan janjikan sebulan penuh hapusi kekhawatiran isi perut-perut kami,  juga beberapa lembaran tulisan yang mampu kubisikan pada tengah malam nanti, aku tersenyum.




 
Pintu terbuka dan aku mulai mengeja, sesiapa ada sesiapa tidak. Sekilas ada keasingan dalam benakku, wajah ini baru di sini, tapi sedikit aku memutar waktu tahunan lalu, bahkan ribuan, ku kenali rasanya dahulu kala, entah masih jaman purba.
Di ruangan yang cuma bertiga, kutelusuri sebait demi sebait cerita dan kenangan masa-masa silamku, di mana ia kutemui, di mana ia menamparku, karena biasanya aku akan sukar lupa pada orang yang memberikan tanda merah bekas tangannya di mukaku atau pipiku.
Bah, aku benar-benar lupa.
Ratusan jam kubangkitkan bathinku dalam senyap, buliran tasbih bergulir iringi mulutku yang komat kamit sebuti semua panggilan panggilan indah Sang Pencipta semesta alam raya, lalu bersematlah bayangan-bayangan samar kehadapan jiwaku seperti nyata. Siapa ? peri kecil mungil berayun ayun karena sayapnya yang transparan seolah kurang kuat mengangkat tubuhnya yang nyaris tak berbusana. Rupanya dia, yang kuakrabi karena monster-monster sahabatnya yang senantiasa mengelilinginya setiap hari dan sesuka mereka datang lalu pergi lalu datang lagi, dan mereka berpuisi kepadaku lewat seringai mulut bau mereka yang kuyakin tak ingin disaksikan oleh orang kebanyakkan, begitulah perkenalan terjadi saat itu.
Kurasakan monstermu seperti patung selamat datang yang merentangkan tangannya kepadaku, and then said, come to papa, walau sesungguhnya sang peri mungil tak begitu menginginkan mereka, hanya karena amanah yang terlanjur diemban monster-monster itu sehingga tiada mereka selamanya pergi dan benar-benar pergi walau sejuta cara telah berlaku dan dilakukan. [ bahkan kini aku sadar, tanganku ini tidak pernah mampu lagi menjamah apalagi menghalau mereka].
Hmmmmz, aku tahu sekarang, mengapa dia terbawa dalam perjalanan angin badai hingga terjerat dalam jebakan entah siapa, namun kuyakin beginilah jalannya agar aku menemukanmu kembali, seperti lama hilang dariku, yang sekian lama terkurung 12 tahun, jengah yang  penjarakan aku untuk menghayati kehidupan yang sebenar-benarnya nyata bukan mimpi, kau dihadirkan untuk aku, khusus dan special membangunkan mimpiku.
Dan lalu kukukuhkan niat untuk lepaskan lilitan benang-benang hitam kusut yang membelit jemari-jemarimu, kaki-kakimu, untaian rambutmu, dan sebening indah dua penglihatan yang merabun akan akhiratmu. 40 hari waktuku berujar dalam sebuah penghayatan panjang di sujud dan rukuku, serta do’a - do’a yang telah sekian lama aku tinggalkan karena ketakutanku akan kehadiran monster-monsterku yang tengah tertidur lelap dan tak terbangunkan.




Sampai akhirnya Kian, hentikan aku yang berusaha jauhkan dan hindarkan kamu dari semua yang mengganggumu dengan menyeringai ataupun menatap tajam, bahkan mencumbumu dalam ketakberdayaanmu disaat tidur nyenyakmu. Kukutuki perlakuan monster-monstermu dengan semua dzikir-dzikirku dan berharap meteor-meteor membakar mereka, hangus hitamkan mereka, tapi itu tak pengaruhi hidup dan keseharianmu, walau engkau bersayap dan mampu terbang kemanapun kau suka, tetap saja tak merubah keadaan yang tidak kamu inginkan. Dan sedikitpun mereka tiada perduli.


Semburan asap rokok disela istirahat seharian kerja, seolah hembusan nafasku yang terakhir karena letih bercengkrama dengan kesalahan yang tak terelakan dan tidak disengaja, bahkan tidak diinginkan, duhai peri mungil, inginnya aku bawa engkau pulang, dan kutanami hatimu dengan rangkaian bunga-bunga, agar keindahan mata dan harum semerbak saja rasa yang ada di benakmu, bukan ketakutan dan kekecewaan yang senantiasa iringi hari-harimu walau ditengah keramaian yang membisingkan. Namun itu sudah tak mungkin lagi, sudah tak penting lagi, kamu tahu kenapa ? karena rupanya monster-monsterku lebih menyukai dirimu dengan keadaan yang sekarang, dan itu pengaruhi aku dengan mulai mencintai keadaan tersebut.
Peri mungil, aku mulai mencintaimu. Tetapi monsterku membahayakanmu. Seperti apakah aku di matamu, aku takut sekali menyakitimu, dengan semua sikap yang menciutkan nyalimu berkeliaran dengan sayap-sayapmu yang menurutku lemah, jika aku mampu beradaptasi dengan kemungilanmu, atau mantera merubah wujudku telah aku kuasai, rasanya menjadi sepertimu menjadi keinginan terbesar dalam hidupku untuk saat ini. Kita bisa bersembunyi di balik daun jati, yang lebar dan tebal, atau main perosotan berdua di atas pelepah pohon pisang yang menjuntai panjang, lalu kita bangun sebuah sarang dan kawin. Heerrgggg, gejolakku leburkan akal sehat yang menurutmu bisa aku kuasai, harus aku redakan, mesti aku abaikan. Tetapi  aku jadi mati, aku jadi  mati kutu hadapimu, seolah kau bawa sebilah senjata malaikat pencabut nyawa, yang segera menjemput mautku dengan sekali ayunan bila aku mencoba merengkuhmu. Aku bukan takut, tetapi aku tak ingin kamu kesepian di dunia ini, siapa temanmu nanti ? Teman menghisap berbatang-batang cerutu murahan, teman berpesta pora coklat batangan yang kita beli bersama di sebuah mini market, teman yang dapat kamu dengan bebas bercerita apa saja, tentang siapa saja, tentang hidup yang membosankan karena tidak tahu harus berbuat apa disaat jenuh penuhi sebagian isi hati, bahkan tentang kematian yang indah sekalipun.
Kukatakan padamu peri mungil, hidup bukan sekedar berkeliaran dengan sayap-sayapmu untuk sekedar mencari udara segar dan manisnya sari bunga harum yang mengenyangkan dan memabukan, setelah itu selesai.

      Tidak, bukan seperti itu hidup ini. Bagiku, hidup adalah membiarkan diri kita menjadi taman firdaus yang selalu di datangi siapapun untuk mendapatkan kebahagian dan kesejukan ketika berada di dalamnya, sehingga mereka pulang dalam keadaan tenteram dan siap menghadapi siapa saja yang menghalangi setiap perjuangan untuk bekal mereka di nirwana sana. Peri mungil yang seperti boneka barby, aku ingin mencium ‘matamu’ walaupun aku benar-benar akan mati setelah itu. Bagaimana tidak, berduaan denganmu saja, tubuhku bergetar hebat seperti sedang sakaw berat. Jadi, gimana dong.
Kumasuki pintu ruang kerja yang terbuka itu, dan kueja siapa ada dan siapa tidak, dan seperti biasanya, peri mungil kesayanganku kesiangan.
Hmmmmmz…

                                                      ----*****----

Tiada penciptaan yang tak mungkin sia-sia, apapun bentuknya, hidup atau mati, bergerak ataupun diam berdiri kaku , bahkan sesuatu yang tidak kita ketahui dengan indera penglihatan sekalipun. Tergantung manusia menilai dan memandangnya dari sudut yang mana terhadap semua yang mengelilingi kita, bahkan yang terhina sekalipun.
Adalah segumpal daging yang disebut hati, yang menggerakkan, akankah kita terpedaya dengan tipuan perasaan yang menelusup lewat celah-celah halus disetiap pembuluh darah dan bersembunyi untuk menguasai setiap sel-sel syaraf, mengalirkan emosi dan hasrat serta keinginan yang mungkin saja begitu yakin sangat membahagiakan, namun di sudut mata pandang yang lain terasa sangat menyedihkan.
Banyaknya kalimat tertuang dengan dalih hasil dari segenap sebuah kesimpulan dari manusia tentunya yang mengatasnamakan kecerdasan entah berasal dari mana, bagaimana, dan mungkin bisa jadi di situlah kumpulan hawa nafs ( al-nafs ) . Kepada  siang berikan aku cercaan, hinaan, atau kalimat yang bagi orang lain akan menyakitkan . Jika itu dari mulutmu, tak lah aku bergulir menjadi terbenam, satu-satunya penerangmu hanyalah aku, mentari bumi.
Kepada malam biarkan hayalan melayang, kotori jiwa yang bersih dari noda,








Jrl.4n,
Serang, 10:05, 29.03.2015 [ inspirasi : 4 Januari 15]



Popular Posts