100 ribu rupiah
Sore
yang cerah menggelitik sepoy angin kas kawasan lembah desa Senayan Simpang
Empat Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Begadai Sumatera Utara itu, duduk kami satu keluarga
kecil bercengkrama dalam keceriaan, ayah berdamping dengan bunda tercinta dan
kedua adik laki-lakiku serta aku mengelilingi mereka yang siap mendengarkan
dongeng pengantar tidur. Bukan, ayah telah berjanji menceritakan hal seorang
sahabatnya yang menurut ayah sangat berarti dalam pergaulan hidup ayah muda di
masa lalu, 23 tahun silam.
****
Dua
tahun sudah ayah bekerja di sebuah perusahaan swasta yang terbilang cukup
menjanjikan untuk kehidupan masa depan, perusahaan yang bergerak pada bidang
produksi ban sepeda, ban becak dan ban sepeda motor. Menempati sebuah
perkomplekan industri besar di daerah Cileungsi Kabupaten Bogor Jawa Barat dan
termasuk kedalam perusahaan kelas menengah, merupakan bagian dari kelompok
perusahaan ternama saat itu, sebuah perusahaan yang menjamin kehidupan materil
para karyawannya dengan penghasilan melebihi dari cukup untuk seorang karyawan
yang sekadar lulusan Sekolan Tehnik Menengah jurusan Kimia. Mendapatkan jaminan
sosial untuk biaya pengobatan, tambahan transfort pengganti setiap minggunya
dan tambahan uang makan apabila mendapat giliran masuk kerja sift tiga.
Dan
ayah bekerja pada bagian Produksi Divisi Compounding penghasil produk material
paling awal dari produk elemen atau bagian ban dalam maupun komponen ban luar.
Satu buah ban dalam itu terdiri dari beberapa elemen bahan produk yang
dihasilkan bagian Divisi Compounding, begitu juga dengan ban luar yang terdiri
dari banyak elemen yang salah satunya diproduksi oleh Divisi Compunding,
sebelum akhirnya diproses mesin press bertekanan tinggi pada Divisi lainnya
untuk dijadikan produk ban dalam maupun ban luar.
Siang
itu terasa sangat terik dan membuat kerongkongan menjerit meminta untuk
dibasahi dengan barang seteguk air putih yang segar, gontai ayah mengarah
kelantai bawah untuk minum, saat kaki ayah menuruni titian anak tangga pemisah
antara tempat kerja ayah dengan tempat air galon biasa tersedia, seorang
karyawan sedang membersihkan safety gate
atau besi pegangan titian anak tangga menghentikan pekerjaannya lalu bergeser
sedikit merapat memberi jalan kepada ayah sambil tersenyum dan mengangguk.
“Hai,
kamu pegawai baru yah” sapa ayah
Yang
disapa tersenyum lagi.
“Enggak
bang, sudah dua minggu saya kerja di sini”
“Lha,
sudah dua minggu kamu membersihkan safety gate ini belum kelar-kelar..” canda
ayah sambil tertawa kecil.
“Becanda
ya..jangan dimasukan kedalam hati” sambung ayah takut yang disapa merasa tak
enak hati.
“Iya
Bang, saya tahu abang bercanda” jawabnya sambil tersenyum lebar.
“Ya
udah saya turun dulu yah, nanti kita sambung lagi ngobrolnya” lanjut ayah.
“Oya,
nama aku Rasidi, Muhamad Rasidi, kamu..? sejenak ayah sempatkan mengenalkan
diri sebelum berlalu.
“Bond,
lengkapnya James Bond” jawabnya sambil mengulurkan tangan.
Sedikit
ayah terkesima dengan ucapan orang itu sambil mengulurkan tangan ayah untuk
dijabatnya. Dan belum sempat ayah terjaga dia melanjutkan bicaranya.
“Bukan
ding, nama saya Jan Nailamor Sagala” senyumnya puas mengembang seolah berhasil
membalas kelakar ayah barusan.
“Aih
kamu, bisa aja.. ok deh aku turun yah” lanjut ayah sedikit keki dikerjain anak
baru. Tapi lucu juga anak baru itu gumam ayah dalam hati meneruskan niat langkah
ayah menuju tempat air galon.
***
Kebiasaan
ayah dan karyawan lainnya di Divisi Compounding ketika jam Istirahat makan
siang tiba adalah selalu bergantian mengambil waktunya, karena mesin besar
Bunbury, mesin pengolah campuran bahan karet dan bahan kimia lainnya tidak
boleh berhenti beroperasi. Ini dilakukan untuk mempercepat proses produksi dan
menghemat waktu pemanasan mesin apabila harus dimatikan.
Jarak
dari Divisi compounding ke tempat makan yang kami sebut Pantry, sekitar dua
ratus meter, jadi cukup memakan waktu juga, dan melewati beberapa Divisi-Divisi
lainnya.
Di Pantry, sudah ramai karyawan lainnya yang tengah
mengantri ransum makanan sambil memegang
food tray stainless steel atau piring stainles steel berbentuk kotak
persegi dengan sekat sekat untuk tempat nasi (pen: sekat bagian tengah),
sayuran dan lauk pauknya, yang biasanya terdiri dari lima sekat, dan banyak pula yang sedang menikmati makan
siangnya. Semua terlihat tertib dan bersahaja, sedikit sekali tertawaan
terdengar dan beberapa malah terlihat khusuk dengan santapan makan siangnya
masing-masing.
Ayah mencari tempat duduk yang kosong setelah
mengambil ransum makanan bagian ayah, dan terlihat dipojokan Pantry ada bangku
yang baru di isi oleh satu orang, terlihat dari jauh dia pastilah dari Divisi
Compounding, khas dari belepotan warna hitam pada seragam putih putih yang ternoda
oleh oli ataupun bahan karet yang mendominasi bahan material Divisi kami.
“Aih ketemu lagi disini Jan” sela ayah pada orang tersebut sambil duduk
dihadapan teman baru ayah itu.
“Eh iya bang..saya sudah duluan aja nih makan siang, hehehe...” balasnya
mengiyakan.
“Jangan panggil Bang dong, panggil saja Ras, atau Rasidi, lebih akrab
kedengerannya.
“Hmmm..” jawabnya sambil mengangguk, dan melanjutkan makannya.
Hening sejenak.
“Kamu asalnya dari mana, namamu seperti nama orang Sumatera?” selang
beberapa lama ayah bertanya.
“Saya dari Rangkasbitung Banten, Jawa Barat” balasnya
“Kebetulan bapak saya berasal dari Medan, tapi ibu saya asli orang
Rangkasbitung dan dilahirkan disana” lanjutnya.
“Oh.. bapakmu orang Medan, samalah sama aku, aku orang medan pula, satu
keturunan kita lay, cuma mamakku orang medan pula, tapi kakak aku menikah dengan orang sunda dan
tinggal di Bogor, sudah dua tahun pula aku ini bolak balik Bogor Cileungsi,
capek juga rasanya” timpal ayah.
“Berarti kamu nge kos yah disini, dimana? tanya ayah kemudian
“ Baru seminggu saya kos di daerah Kampung Dayeuh Kolot, lima kilometeran
lah dari sini”
“Berapa orang kamu ngekos satu kamar..? tanya ayah lagi
“Sekarang sih dua orang, tapi teman sekamar saya itu lusa mau pindah kos
katanya, supaya dekat dengan temannya sekampung dari Padang” ujar Jan seolah
memberi penawaran halus.
“Oh.. kebetulan kalau begitu, aku mau pindah dari Bogor ke daerah sini,
kejauhan tiap hari bolak balik” pancing ayah sekenanya.
“Oya, ya sudah tinggal sama saya saja di Dayeuh Kolot, gimana” katanya
lagi
“Iya, boleh juga tuh, nanti sore pulang dari Pabrik kita mampir ke Kosan
kamu yah”
Jan hanya mengangguk mengiyakan sambil membenahi bekas makan siangnya
lalu menyulut sebatang rokok yang ia selipkan dahulu kebibirnya. Ayah tersenyum
saja melihat hal itu.
Sore harinya selepas kami berganti pakaian di ruang
ganti yang penuh dengan tatanan Boks Lemari Locker yang memang dikhususkan
untuk karyawan, kami berangkat menuju tempat Jan Kos di daerah Dayeuh Kolot.
Kami mengobrol sekenanya sepanjang perjalanan itu, sekitar pekerjaan yang
menjadi kewajiban kami yang sebetulnya sudah diterangkan oleh Pimpinan Divisi
setiap kami apel pagi setelah melakukan senam kesegaran Jasmani yang rutin
dilaksanakan setiap hari sebelum memulai aktivitas kerja.
“Kiri bang..” Jan mengisyaratkan kepada sopir angkutan kota yang membawa
kami dari pabrik ke muka gang tempat Jan tinggal.
“Biar aku saja yang bayar Jan” kata ayah sebelum Jan sukses mengeluarkan
uang dari saku celananya untuk membayar sewa kami. Dia pun mengangguk setuju
dan ayah menyodorkan uang bayar sewa yang telah ayah siapkan sebelumnya kepada
supir angkutan kota dan sejenak menunggu uang kembailannya.
Lanjut kami berjalan menyisiri gang yang telah padat
oleh bangunan kamar-kamar kos yang disewakan, juga warung-warung makan yang
disediakan untuk penghuni kos yang kebanyakan memang lebih suka untuk membeli
makanan dari pada bersusah payah memasak sendiri, ditambah lagi dari segi
efesiensi waktu. Kamar kos yang ditempati Jan milik penduduk lokal yang
dipanggil dengan sebutan Mas, dan isterinya kami sebut Mba. Bangunan dua
tingkat sederhana, dua pintu di lantai bawah dan satu pintu di lantai atas yang
di huni oleh Jan.
“Inilah tempatnya Ras, saya rasa cukup untuk kita berdua sekedar istirahat, hehehe..” Jan membuka
obrolan setelah tiba di lantai atas dengan meniti anak tangga yang terbuat dari
bilah-bilah papan tebal.
Ayah sih tersenyum saja, dan merasa tempat ini unik dan mempunyai dimensi
yang berbeda dari kebanyakan kamar Kos disekitar sini yang tidak berlantai dua.
“Tempatnya strategis Jan, jarang Kos an dua lantai seperti ini, walaupun
kesannya sederhana, namun estetika, punya kelebihan tersendiri” sambung ayah
merasa cocok dengan tempat ini.
“Syukurlah kalau kamu suka tempatnya, jadi kapan kamu mau pindah..? tanya
Jan.
“Hmm, minggu depan lah, soalnya aku harus bicara pelan-pelan sama kakaku
yang di Bogor itu, takut dia tersinggung jika tiba-tiba saja aku memutuskan
untuk pindah tempat tinggal” jawab ayah.
“Boleh, sementara menunggu teman sekamar saya membereskan barang-barangnya
yang masih tersita disini ... hehehe..., karena sebagian sudah dibawanya
ketempat barunya itu” ujar Jan kemudian.
Seperti itulah, perkenalan ayah dengan Jan di hari
pertama jumpa, sampai akhirnya ayah memutuskan untuk tinggal bersama Jan hanya
dalam hitungan jam saja, dan terasa kami itu sudah digariskan menempati tempat
Kos berdua.
****
Tidak
terasa kami sudah bergaul menginjak satu tahunan dan kebersamaan kami sebagai
anak kos memberi ayah banyak pelajaran. Jan orang yang sangat supel dalam
memperoleh teman, utamanya lawan jenis, dalam artian positif tentunya, sebentar
saja dia sudah mengenalkan banyak teman wanitanya sama ayah, teman tempat kami
biasa mengobrol di sela-sela waktu istirahat dalam lelah seharian di pabrik dan
bersenda gurau bersama mereka. Begitu menyenangkannya cara dia berbicara kepada
teman-teman wanitanya itu, seolah semuanya adalah saudara sekandung saja, yang
selama ini ayah selalu beranggapan bahwa wanita itu teman yang selalu
merepotkan dengan semua kelemahan yang dimiliki mereka. Tetapi bagi Jan, Itu
adalah salah satu cara kita bergaul sebanyak mungkin menjalin tali silaturahmi
kekeluargaan yang memang menjadi keharusan sebagai seorang perantauan layaknya
ayah. Jan bukan tipe lelaki play boy, tetapi dia dekat sekali dengan
teman-teman wanitanya, itu terkadang yang membuat ayah suka iri dalam pergaulannya
itu.
“Ras,
nonton Televisi yuk di bawah” suatu malam Jan mengajak ayah.
“Iya
nanti aku nyusul Jan” jawab ayah yang sedang membenahi pakaian yang mau dicuci
besok, karena biasanya ayah menumpuk baju untuk di cuci selama satu minggu.
Selesai
ayah memilah baju, barulah ayah turun menemui Jan dan teman tetangga kami satu
Kos.
“Hoi..”
seru ayah
Jan
dan teman kami tetangga satu lokasi kosan menoleh.
“Sini
Ras..” ajak Jan diangguki oleh kedua tetangga kami.
“Nonton
apa kalian” tanya ayah sambil duduk bersama mereka dan menyaksikan pertunjukan
televisi kepunyaan bapak kos yang bisa kami saksikan dari teras kecil yang
menghadap langsung ke ruangan televisi bapak kos.
“Film
laga Ras..” jawab Jan
“Oh...seru
nih..” sahut ayah.
Lalu
kami pun larut kedalam layar televisi ukuran 32 inci itu.
Begitulah
kehidupan malam kami sebagai anak perantauan, subuh bangun lalu bersiap
melakukan aktivitas di pabrik dan sore pulang untuk beristirahat ataupun
bercengkrama dengan tetangga kos kami. Atau jika jam kerja masuk bagian shift
dua, kami bekerja dari sore pukul empat sampai tengah malam terpaksa kami
laksanakan, yang dilanjut dengan shitf tiga meneruskan pekerjaan yang belum
rampung oleh karyawan pada shift dua.
Dan
bila hari libur tiba, biasanya ayah bersama Jan main bersama tetangga kos kami,
mengantar mereka untuk menemui teman-teman mereka, ataupun sekedar jalan-jalan
dan nonton berempat.
Keakraban
yang diciptakan oleh Jan itu sungguh membuat ayah semakin kagum kepadanya, dia
seperti sedang mengasuh kami dan menjadikan dirinya kakak tertua kami, bahkan
ada panggilan khusus tetangga kami kepadanya, abah. Iya, mereka memanggil Jan
dengan sebutan abah yang artinya bisa jadi bapak atau kakek, tetapi Jan tidak
masalah dengan sebutan itu.
Jan
punya pacar di Rangkasbitung, yang rajin meneleponnya setiap satu minggu sekali
untuk menanyakan apakah dia pulang ke Rangkasbitung atau tidak, sempat ayah
ikut Jan ke Kota kelahirannya beberapa hari sebelum libur panjang tahun baru,
dan menginap di rumahnya di perumahan Pegawai Negeri Sipil. Dan yang ayah tidak
menyangka adalah bahwa Jan ternyata anak seorang Pejabat di Kota Rangkasbitung.
Mamahnya ramah sama ayah, bahkan kelakar mamahnya yang tidak pernah mungkin
ayah lupa adalah, ketika kami menonton televisi bersama, dan tayangan iklan
mengenai obat penghilang rasa nyeri menyertakan himbauan begini :”Bila sakit
berlanjut, kunjungi dokter”, dan Mamahnya Jan menyahuti dengan ucapan; “ Dan
bila sakit berlanjut juga, kumpulin dokter”. terang saja kami semua tertawa
atas komentar mamahnya Jan itu. Lucu mamahnya Jan ini gumam ayah. Di lain sisi ayah tidak habis fikir, mengapa
seorang anak Pejabat menjadi buruh Pabrik yang notabene pekerjaannya
berkonotasi kasar dan berat, memerlukan energi yang maksimal dalam bekerja,
sehingga bila malam tiba keletihan seharian bekerja begitu terasanya, hingga
ketulang belulang menyiksanya. Tetapi itu sama sekali tidak ditunjukan oleh Jan
sebagai sesuatu yang menjadi beban hidupnya, ayah menjadi sangat bersyukur
bertemankan dengan orang yang samasekali tidak memilih dalam berteman, ayah
merasa bukan saja sebagai teman di matanya, malah lebih kepada adik atau
saudara bagi dia.
Dan
ayahpun sempat bertemu dengan kekasihnya Jan ketika kami jalan-jalan di
sekitaran pasar Rangkasbitung, pacarnya Jan sedang bersama ibundanya memasuki
sebuah toko Kelontongan yang terbilang lengkap, seperti toko serba ada. Anaknya
manis berambut panjang, senyumnya mengembang memerhatikan kami yang menyapa dan
memperkenalkan ibundanya kepada ayah. Sayang sebentar saja kita bertemu karena
pacarnya Jan sedang berbelanja bersama ibundanya dan hanya sempat menawarkan
kami untuk mampir kerumahnya. Dan kamipun melanjutkan jalan-jalan kami sampai
akhirnya kami kembali ke rumahnya Jan.
***
Malam
itu di kosan, selesai sembahyang isya dan mengaji, Jan begitu khusunya berdo’a.
Ayah memerhatikannya begitu tersentuh sekaligus bertanya dalam hati, apa isi
do’a nya Jan. Setelah Jan merapikan peralatan sholatnya ayah menyempatkan
bertanya sebelum kita turun ke warung untuk makan malam.
“Jan,
kamu berdo’a apa sama Allah, kok khusuk benar” tanya ayah penasaran.
“Memang
harus begitu jika kita memohon sesuatu kepada Allah Ras, mudah-mudahan Allah
mengabulkan permintaan saya” jawab Jan.
“Tapi
kalau aku sih malu berdoa lama-lama sama Allah, bukankah kita sudah diberi
karunia yang begitu banyak setiap harinya, masa iya kita meminta lagi yang
lain, sekiranya bisa kita upayakan dan usahakan mengapa harus pula kita
meminta?” sergap ayah memberi komentar.
Jan
tersenyum dan menjawab ringan.
“Sudah
menjadi kewajiban kita untuk memohon dan berdo’a, karena apa-apa yang kita
upayakan dan kita lakukan itu semata-mata atas kuasa Allah juga, jika Allah
berkehendak terhadap apa yang kita lakukan, maka jadilah kita melakukannya,
jika tidak, maka mustahil kita bisa berupaya dan melakukan hal tersebut, karena
semua terjadi itu akibat dari Kalam Allah, Kun fayakun, jadi, maka jadilah ia”
“Apa
harus sekhusuk itu..?” timpal ayah, “Seolah kita mengharapkan benar do’a kita untuk
di kabulkan, padahal dosa-dosa kita juga banyak banget” lanjut ayah lagi.
“Dalam
Alquran Allah menyuruh kita untuk berdo’a, yang artinya kira-kira seperti ini;
Berdo’alah kepadaKU, niscaya akan AKU kabulkan; itu adalah perintah yang
mengisyaratkan bahwa jika meminta kepada Allah, maka pasti akan Allah Kabulkan,
namun kita tidak tahu bentuk pengkabulan do’a kita itu seperti apa, bisa jadi
diturunkanNYA pengabulan itu sesuai dengan yang kita pinta, atau dalam bentuk
kebaikan yang lainnya sebagai pengganti, karena sesungguhnya Allah Maha Tahu
apa yang terbaik untuk kita sebagai hambaNYA. Bisa juga Allah tahan do’a-do’a
kita untuk diturunkan pada saat yang benar-benar tepat, atau dirubah menjadi
pahala karena kita menjalankan perintah Allah untuk berdo’a dan meminta
kepadaNYA” begitu terang Jan kepada ayah.
Ayah
hanya bisa merenungkan penjelasan Jan.
“Dan
apabila masih ada orang yang tidak mau meminta kepada Allah terhadap hajatnya,
mencukupkan diri dengan sholat dan mengaji saja, menurut saya itu perbuatan
yang masuk kategori sombong dalam artian bahwa orang tersebut merasa melakukan
apapun dengan hasil kedua tangannya saja, tanpa hadirnya kuasa Allah dalam
hajat kita itu” lanjut Jan lagi.
“Hmmm...”
gumam ayah hanya terdiam memaknai dan mencoba memahami jawaban Jan tersebut
sambil akhirnya kami turun kebawah untuk makan malam.
***
Seperti
kebiasaan kami di hari sabtu adalah mencuci baju, dan bersiap siap untuk pergi
dari kosan, jika Jan biasanya pulang ke rumah orangtuanya di Rangkasbitung,
ayah paling ke Bogor menemui Kakak sekedar melepas rasa kangen, ataupun main
bersama teman ayah yang lainnya, karena jika tidak dengan Jan, ayah selalu
menghabiskan waktu bersama teman satu pabrik. Tapi hari sabtu ini ayah
sendirian mencuci baju kotor, karena Jan sudah duluan pulang kemarin sore
karena mau mengantar Kekasihnya ke sebuah kecamatan Menes untuk menjenguk
Orangtua Pacarnya Jan yang mulai tinggal disana.
Waktu
begitu cepat berlalu sampai hari minggu malam Jan belum juga kembali dari
Rangkasbitung. Dan hari seninnya Jan juga tidak masuk kerja, namun seminggu
kemudian ayah mendapat kabar dari kepala Divisi Compounding bahwa salah satu
karyawan Compounding telah resign atau berhenti bekerja dari pabrik ini. Dan
orang tersebut adalah Jan. Hati ayah sedikit syok mendengar kabar itu. Jan sama
sekali tidak pamitan sama ayah. Semua inventaris Jan dari Pabrik ayah
kembalikan atas perintah dari Kepala Divisi, ayah sempat meneleponnya ke
Rangkasbitung, tapi Mamahnya bilang Jan sudah bekerja lagi di Kota Cilegon,
Kota tempat kekasihnya bekerja. Ayah tidak tahu apa yang terjadi sehingga Jan
begitu saja pindah kerja dan tak memberi kabar setelahnya. Ayah terus terang
merasa kehilangan sahabat dan saudara. Satu yang menjadi beban ayah sampai
sekarang adalah, ada insentive yang menjadi haknya Jan dititipkan oleh Kepala
Divisi kepada ayah, uang sebesar 100 ribu rupiah. Ayah mencoba mengingat jalan
menuju Rangkasbitung, tetapi karena perjalanan kesana waktu itu kami asyik
mengobrol dan perjalanan malam pula, sehingga ayah tidak tahu cara menuju
kesana, bahkan lupa tahapan menggunakan kendaraan umumnya.
Sampai
akhirnya ayahpun harus pulang kampung ke sini untuk merawat emak, nenek kalian
yang sakit, uang itu menjadi beban ayah setiap harinya, sepanjang waktu.
Berupaya menanyakan alamatnyapun setelah pernah ayah berkirim surat kepadanya
sewaktu ayah di bogor, surat itu tidak terbalaskan, entah sampai alamatnya atau
tidak ayah tidak tahu. Mungkin ini yang menyebabkan beban pikiran berat tentang
hak mutlak yang harus ayah sampaikan kepada Jan, pun ayah pernah bertanya
mengenai hal ini kepada ustad mesjid dekat rumah, yang menyarankan untuk
menginfakan uang tersebut atas nama Jan, namun ayah belum sreg bila belum
mendapat izin darinya, ah... sungguh payah pikiran ayah ini.
“Untungnya
sekarang ada kamu Dinda anak ayah, yang bisa menelusuri keberadaan Jan melalui
media sosial, dan melaluinya juga kamu berhasil menemukan setitik cahaya untuk
menyambungkan ayah kembali kepada teman ayah yang satu ini, walaupun hanya
sekedar meminta izin perihal uang miliknya.
“Siapa
temannya Jan yang kamu ajak inbox itu namanya” tanya ayah padaku
“Ahmad
Tohir Apdani ayah” jawabku
“Iya,
gimana sudah ada kabar lagi dari dia” tanya ayah lagi.
“Dinda
belum buka Media sosialnya lagi yah, semalam sih dia bilangnya mau bertanya
dulu pada Jan, boleh gak memberikan nomor telepon Jan kepada Dinda, takutnya
nanti Jan tidak mengizinkan katanya” terangku.
“Oh,
semoga saja Jan tidak keberatan untuk memberikan nomernya kepada kamu ya Din”
tutup ayah.
Tiba-tiba
saja notifikasi media sosialku muncul di handphone, langsung aku buka dan
isinya nomor seluler teman ayah yang bernama Jan. Segera saja aku balas ucapan
terimakasih kepada Ahmad Tohir Apdani temannya Jan teman ayah itu. Lalu aku hubungi
nomornya melalui media sosial yang lainnya.
Assalamu
alaikum pak, saya anaknya Rasidi teman lama bapak; begitu aku memberanikan diri
membuat obrolan lewat chating kepada Jan. Dan dijawabnya langsung pesan saya
tersebut, dan aku terlibat obrolan sedikit dengan teman ayah ini, yang akhirnya
meminta nomor telepon ayah yang bisa dia hubungi. Tidak lama setelah aku
memberikan nomor ayah tanpa sepengetahuan ayah tentunya. Telepon seluler ayah
berdering, aku tersenyum puas dan menyakini dengan pasti itu adalah panggilan
telepon dari temen ayah yang selalu ayah bangga-bangakan setiap kami ada waktu
untuk berkumpul itu.
Si
kecil yang mengangkat telepon ayah dan menerima dengan ucapan cadelnya, lalu
memberikan telepon seluler itu kepada ayah sambil berkata;”Telepon dari teman
ayah yah..” ayah menerimanya lalu, “Haloo...Assalamu
alaikum” ayah mulai menerima telepon dengan kening mengerenyit dan matanya
menatapku, dan sejenak bergeming kemudian tangan ayah bergetaran, mimik muka
ayah langsung berubah lalu kami dikejutkan pecahnya tangis ayah yang tidak
pernah kami sangka-sangka sebegitu mengharu birunya dan segera saja roman muka
ayah bersemu kemerah-merahan dengan menahan linangan air mata dipojokan sepasang
pelupuk mata ayah yang siap sedia melelehi kedua sisi pipinya, antara bahagia
yang keteramat sangatan begitu mendengar suara dari speaker telepon adalah Jan,
sepertinya tumpah semua campuran rasa yang selama ini ayah pendam begitu lama,
23 tahun menunggu hasil pencarian yang membuahkan kontak seluler, 23 tahun ayah
terbebani oleh titipan uang 100 ribu rupiah yang tidak seberapa nilainya
dibandingkan dengan beban bathin yang ayah panggul, 23 tahun yang membuat hati
ayah tidak merasa tenang bila mengingat perihal insentive itu. Ternyata begitu
pentingnya bagi ayah menjaga amanah dari mantan atasannya untuk disampaikan
kepada teman ayah ini. Mungkin kebaikan yang telah Jan berikan kepada ayah
selama diperantauan telah membuat hati terdalam ayah terketuk lalu mempengaruhi
pandangan ayah terhadap hidup dan kehidupan sehingga ayah merasa lebih tentram
dan damai dalam menjalaninya. Pembelajaran yang penting bagi kehidupan ayah
selanjutnya dan kesungguhan hati untuk tidak begitu saja melalaikan sebuah
janji yang bisa saja telah ayah ucapkan disaat menerima amanah tersebut.
Kemudian
tangis ayah mereda, berganti rekah senyuman , dan ucapan-ucapan ayah yang tidak
ada titik komanya membuat kami cemburu pada sikap yang tidak pernah sekalipun
ayah lakukan kepada siapapun. Tapi kami memakluminya dengan hanya bisa turut merasakan
bersyukur dan bergembira.
Ayahpun
terlibat percakapan yang cukup panjang, selama hampir satu Jam muka ayah
terlihat sejenak serius, sebentar lalu tersenyum begitu saja sambil seperti mengingat
kenangan pada persahabatan ayah yang membuat pelampiasan rasa kangen tak
kunjung ada habis-habisnya, terlebih dengan beban yang menurut ayah adalah janji
yang wajib ditunaikan, dan hati ayah merasa tidak tentram sebentar lagi sirna
karenanya. Dan aku melihat tawa ayah yang begitu semaraknya,senyuman yang terus
menerus mengembang selama percakapan itu mengalir terus tiada reda, baru
sekarang aku menyaksikan tertawa ayah yang sebegitu itu, ah ayah. Dinda puas
dan lega bisa membantu ayah, Dinda sayang sama ayah. Gumamku sambil meninitkan
air mata bahagia melihat tingkah ayah yang seperti kekanakan itu, yang tidak
pernah sekalipun kami melihatnya.
*********
2Februari2019