Awan kelabu



Butiran embun bening, sesaat meresapi dedaunan yang mulai mengering karena sedikit saja waktunya untuk tetap merekat di ranting yang juga mulai mengering karena tua, pada sebuah pohon rindang berdahan empat.
Pada awalnya butiran embun itu adalah uap-uap air dari sungai, danau ataupun lautan yang karena terpapar sinar matahari kemudian naik ke atas langit untuk menetap di hamparan bentuk yang aku sebut awan. Lalau terik panas atmosfir mulai mendingin perlahan, hingga awan tertiup angin ke semua arah mata angin bertiup.
Kemudian sinar mentari berganti redup sinar gemintang atau temaran cahaya rembulan, partikel partikel kecil itupun mulai malas dan pergi menjauh dari gumpalan putihnya awan-awan, mereka beruntuhan tertarik gaya gravitasi bumi diwaktu fajar yang sunyi, tanpa suara mereka bertengger di dedaunan yang menjadi tadahnya. Demikianlah kita menyebutnya embun pagi. Seperti dirimu yang kini mulai menguap kelangit biru, menjauhiku sendirian di bumi yang panas ini, gersang tak bergairah. Setelah semuanya engkau bagikan kepadaku detik demi detik kebahagiaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya, sehingga puluhan tanya bergejolak di otakku yang idiot. Apa gerangan yang melengserkan diri ini dari dalam hatimu yang sebenarnya aku puja..?
Selintas sebuah nama mengoyak cemburuku yang berusaha untuk aku lupakan bertahun lalu, kini muncul lagi dalam sebuah mimpi yang tak kuingat kapan ku alami. Dirimu masih merindukannya kah..?
Sepertinya belum cukup waktu belasan tahun cinta yang aku bangun dengan kesusah payahan ini, dengan kelemahan jiwa yang aku dapatkan sewaktu muda masih menyertaiku, hingga aku menemukan hidup dalam jiwanya, sejelas aku menitikkan air mata ini, sejelas aku mensyukurinya dengan menyerahkan tubuh ini dalam genggaman jemarinya, dan berharap akhir hidupku nantinya khusnul khotimah, karena mendampinginya bagiku adalah salah satu jalan dalam menuju syurgaNYA Allah Ta’ala, karena niatku memang untuk ibadah menjalankan perintahNYA Ta’ala jua dengan berusaha menjadi ‘sesuatu’ yang sesuai dengan syariat.

 Arsip Pribadi


Tidak dapat lagi kukenali hatimu itu, bagai awan-awan kelabu yang sewaktu-waktu bubar menyebar butiran rinai hujan, atau berlalu mengitari belahan bumi lainnya. Tapi lalu kemudian, engkau membabi buta menyamakan aku dengan dirimu, main belakang aku katamu. Apa itu sekedar ingin membenarkan persimpangan yang telah kamu ciptakan...? Sehingga kamu merasa aku ambil bagian dari ketidak selarasan ini.


Jrl.4n [ inspirasi : Wahyudin Cilegon ] 
Kaki Gunung Salak, 28 Desember 2013
Serang, 5 Agustus 2015



Popular Posts