Bangkitku
Pelahan tangan
ini keluar menerobos gembur tanah di atas tubuhku, terasa hangat di luar sana.
Kuulurkan tangan satunya untuk menyibakkan tumpukan tanah yang sebulan lalu
menimbuni badanku.
Orang bilang aku telah mati.
Kupicingkan
mataku menyambut silaunya sinar mentari di sore itu, mungkin sekira pukul tiga
gumamku sambil berusaha menyingkirkan sedikit demi sedikit tanah-tanah itu
hingga aku dapat duduk dengan leluasa di dalam makam tempat istirahatku selama
tiga puluh hari.
Terasa kaku dan pegal-pegal tubuh ini,
kugerak-gerakan ke kiri dan ke kanan pinggangku, berharap rasa itu hilang walau
cuma sedikit. Dengan masih berbalut kain kafan, aku berusaha sekuat tenaga
untuk berdiri dan keluar dari tempat dingin tersebut.
Kupandangi sekelilingku
yang penuh dengan pepohonan beringin yang sudah berumur ratusan tahun, juga
pohon angsana dan pohon lainnya yang kutaksir berumur lebih dari tiga puluhan
tahun.
Tertatih aku
berusaha untuk berjalan, kunaikkan kain kafan sampai lututku.
****
Aku berjalan
seputaran kampungku, dan kuyakini seperti banyak sekali berubah, kuperhatikan
satu persatu bangunan-bangunan yang masih kuingat sebulan lalu kini sudah tak
kukenali lagi. Terasa asing aku dikampungku sendiri. Orang-orang yang
berpapasan denganku seperti tidak kukenali lagi, terlebih bahkan mereka tidak terlihat aneh melihatku berbalut kafan
yang kulilitkan seperti kain sarung. Mereka menyapa dan tersenyum setiap
bertemu pandang denganku, padahal aku tidak mengenal mereka. Ini sungguh aneh,
ada di mana aku sekarang..? fikirku. Kemana orang-orang yang menjadi penghuni
kampungku dulu..? Siapa orang-orang yang kutemui tadi...? dan bangunan-bangunan
rumah berubah drastis dalam kurun waktu satu bulan saja. Bahkan aku tidak tahu
lagi letak rumahku di mana.
****
Aku terdiam di
bawah sebuah pohon rindang, mengamati sekitaran yang mengasingkan diriku
sendiri di sini. Sesali kebangkitanku dari kubur sepuluh tahun silam.
Jrl.4n
Serang, 2 Desember 2015