Puteri Puan Bulan Dingin ( bag 2 )
Setelah berhasil meyakinkan kepada Raja Serangia
bahwa Peri Penguasa Hutan Pandore telah berhasil dimusnahkan oleh Nathan dengan
membawa bukti kedua sayap Sang Peri yang masih segar dengan sisa-sisa darah
yang mengering, akhirnya penyerbuan tentara Kerajaan Serangia ke hutan Pandore
di hentikan, menunggu reaksi dari para pembela sang peri yang kini telah tiada,
begitu Sang Raja berfikiran.
Keberhasilan Nathan mencegah peperangan yang lebih
dahsyatpun membuat Nathan merasa lega dan bahagia. Namun sejak kejadian itu,
Nathan sudah tak lagi mendengar kabar apapun tentang Maliyant, Peri Hutan yang
teramat disayanginya itu bagai ditelan bumi, menghilang tanpa kabar berita.
Setiap hari Nathan memikirkan kejadian itu dengan tanpa henti-hentinya meragu
dan bertanya dalam hati, apakah yang dilakukannya kepada Maliyant itu benar
atau tidak, sebuah kebaikan atau keburukan. Yang terbaik untuk semuanya,
ataukah terburuk untuk mereka berdua, entahlah. Nathan belum menemukan jawaban
yang dirasa tepat untuk semua kegundahannya itu. Walaupun sebenarnya Nathan
telah berbuat sesuatu yang sangat mustahil untuk dilakukan oleh siapapun
kecuali dia, dan perbuatannya telah menghentikan peperangan yang pastinya akan
membawa korban bukan saja materi, bahkan nyawa juga.
***
Pagi ini cerah bukan main, bukit sebelah utara
dipenuhi suara kicauan burung yang beragam bunyinya, menandakan mereka tengah
berbahagia dengan pagi yang indah ini. Semilir angin sejuk yang membuat segar
udara di antara pepohonan terasa begitu menenangkan fikiran yang ruwet dan
mumet sekalipun, setidaknya itulah yang dirasakan oleh penduduk yang tinggal di
sekitaran bukit sebelah utara tersebut. Namun tidak begitu untuk keluarga Nail
dan Itna yang pagi itu berwajah tegang dan gelisah di hadapan puteri mereka, karena
mereka harus menceritakan sebuah rahasia yang selama ini mereka tutup rapat
dari Puteri kesayangannya itu.
“Anakku Puteri Puan Bulan Dingin, bapak sama ibu
sebelumnya meminta ma’af kepada ananda, sayangku..” buka pembicaraan Nail
kepada puterinya serius benar.
“Ada apakah gerangan wahai bapakku, wajah bapak
begitu tegangnya di mata ananda”, sahut Puteri Puan Bulan Dingin ikut tegang
pula.
Nail menghela nafas sejenak, sementara Itna meraih
tangan anak kasayangannya seolah memberi kekuatan terhadap apa yang akan
didengarnya nanti sambil berujar,”Engkau harus menyimak perkataan bapakmu ya
anakku sayang, jangan berprasangka yang bukan-bukan dahulu, apalagi menuduh
kami orang tuamu tidak berperasaan untuk hal yang akan bapakmu ceritakan nanti..”
Puteri Puan Bulan Dingin semakin menegang raut
wajahnya yang cantik jelita itu, ia tak berani menduga-duga apakah gerangan
yang akan diceritakan bapak yang selama ini memberikan kasih sayang yang begitu
besar kepada dirinya, begitu pula ibunya yang teramat sayang kepadanya, dan
rasa sayang itu dirasakan betul oleh sang puteri dengan sangat dalam.
“Begini anakku, sulit sebenarnya bapak ingin
memulai cerita dari mana, namun dengarkanlah baik-baik anakku..” lanjut Nail
penuh kehati-hatian dalam menceritakan perihal anak kesayangan mereka yang
diserahkan oleh seorang peri hutan Pandore, Nail mnceritakan dengan
sejujur-jujurnya tanpa dikurangi dan ditambah-tambahi dari awal mula pertemuan
dia dengan peri hutan Pandore disaat dia mencari kayu bakar di hutan dekat
hutan Pandore. Tak terasa air mata Nail mengembang di pelupuk matanya, begitu
pula dengan Itna yang terisak-isak menyimak dan mengiyakan apa yang tengah
diceritakan oleh suaminya itu dengan perasaan yang campur baur, sementara
puteri Puan Bulan Dingin mendengarkan cerita bapaknya dengan penuh perhatian,
dan ia pun mulai menangis setelah mengetahui bahwa orang tua yang
membesarkannya itu ternyata bukan orang tua kandungnya. Sambil mendengarkan
cerita bapaknya, Puteri Puan Bulan Dingin sesekali menyeka air matanya yang
bercucuran membasahi pipinya yang putih bersih itu, dan matanya mulai sembab
dengan perasaan di dada dan nafas yang sesak tersenggal senggal menyadari
betapa selama ini dia begitu sayang kepada kedua orangtua yang membesarkannya.
gambar : Aulia Dokumen
“Begitulah kenyataan pahit yang harus ananda
ketahui anakku sayang, ini harus bapak ceritakan karena bapak sudah berjanji
dengan peri hutan Pandore untuk mengungkap ini semua kepadamu setelah kamu
dewasa.” Tutup Nail penuh isak tangis pula. Dan tidak terasa, Puteri Puan Bulan
Dingin yang kini berada dalam pelukan sang ibunda tercintanya telah terjatuh
pingsan demi mendengar ini semua.
***
...bersambung