Maliyant
Disaat prahara tak kuinginkan terjadi, disaat para
monster berhasrat untuk melenyapkan para peri dari muka dunia ini, seorang peri
mungil teman masa muda yang dengan sayapnya membawa kenangan tentang sebuah
arti persahabatan, aku dengan keterpaksaan yang sebenarnya tak mampu kulakukan
[ jika bukan karena tak ingin melihat nisan bertuliskan namamu tertanam di
tumpukan tanah merah lebih cepat dari yang seharusnya ] kuhunus bilah belatiku, sejurus lalu
kuhujamkan pada kedua sayapmu Maliyant, dengan harapan, kedua sayap itu menjadi
bukti bahwa kau telah tiada, kedua sayapmu menjadi bukti untuk para monster
itu, bahwa aku telah membunuhmu dengan kedua tanganku, padahal kejadian sebenarnya
aku telah menyelamatkanmu dari perburuan. Percayalah padaku, aku hanya berniat
menyelamatkanmu.
Aku tahu, kini
kau tak akan pernah bisa terbang lagi, mengitari alam duniamu dari atas awan,
menukik seolah menghujam ke bumi dengan kencangnya, atau mengajakku berkeliling
pandangi dunia yang tak pernah aku saksikan sebelumnya, mengulangi kembali main
perosotan di pelepah daun pisang, atau bersembunyi di bebalik lebarnya daun
jati, itu tak akan pernah terjadi lagi.
Namun aku yakin bahwa suatu saat kau akan mengerti
pada niatku yang terkesan jahat ataupun kejam ini.
Sepuluh
tahun lalu, di sebuah hutan pinus Pandore yang banyak dipercaya oleh penduduk
desa Humalucia sebagai hutan angker dan mengerikan, aku terjebak di tengah
keasingan yang menyendirikan aku, tiada satupun mahluk yang bisa aku tanyai
kemana jalan keluar hutan ini. Yang ada hanya rimbunan pepohonan pinus
menjulang tinggi hingga menutup pandangan mata kelangit biru dan semak-semak Harendong
yang menjadi kegemaran para burung Pipit. Namun anehnya, tiada satupun burung
tersebut berkeliaran di antara pepohonan pinus ini untuk mencari makanan
favorit mereka.
Diantara
putus asa dan tak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba angin seolah bertiup
mengarah kepadaku hingga aku terkejut dibuatnya. Seolah jatuh dari langit, kau
begitu saja berdiri di depanku dengan pandangan mata yang penuh curiga dan
marah.
” Kembalikan
mustika yang kau curi dari hutan ku !” bentakmu dengan suara yang keras dan
menggeridikan bulu kuduk dan hatiku mulai ciut.
“ Aku tak
mencuri apapun dari hutan ini” jawabku terbata-bata
“ Keluarkan
apa yang ada di saku baju atau celanamu, cepat..” katamu sekeras bentakan
pertama, dengan kedua tanganmu di pinggang.
Dan dengan
gemetaran aku mengosongkan isi kantong yang kamu sebut, termasuk sebuah batu
putih yang kemilaunya belum pernah kulihat sebelumnya, sangat indah dan
menyilaukan mata bila dipandang terlalu lama. Kamu mengambil batu putih itu
dengan menyambarnya, hingga tanganku seperti dihempas keras dan terasa sakit.
Dan rasa takutku belum juga hilang hingga kamu tersenyum.
“ Berapa
umurmu lelaki muda..?” tanyanya diplomatis sekali, seolah ada nada kepuasan
yang berhasil menggertak layaknya wanita dewasa yang mempunyai jabatan di
sebuah departemen pemerintahan atau sejenis itu.
Aku terhenyak.
“ Dua belas tahun..” jawabku.
“
Hikhikhikhik… ternyata umur kita tidak begitu jauh berbeda, umurku dua belas
tahun “ balasmu.
“ Aku Maliyant,
salah satu peri di hutan pinus Pandore ini, siapa namamu ?” ujarnya lagi.
“ Oh, kamu
seorang peri, pantas saja kamu memiliki sayap, dan sayapmu keliatannya sangat
kuat dan bertenaga besar yah..?” balasku mulai
berani. Tetapi tatapan mata kamu yang menajam karena pertanyaanmu belum
aku jawab, menghentikan aku mengoceh.
“Aku Nathan,
aku anak petani di desa Humalucia”, ujarku cepat.
“ Ok, Nathan,
sebaikanya kamu pulang sekarang, dan..., jangan terlalu sering main di hutan
ini, apalagi sendirian. Berbahaya, kamu bisa tersesat “ saranmu. Lalu aku
mengangguk dan mulai melangkahkan kaki meninggalkan hutan Pandore tersebut.
Kurasakan Maliyant masih memperhatikan aku berjalan menjauh darinya dan hutan
ini, seolah meragukan jika aku benar-benar pergi menjauh dari hutan ini
dikarenakan banyaknya batu-batu indah di sepanjang sungai kecil yang membelah
hutan pinus ini menjadi dua bagian besar yang sangat eksotik.
Rasa
penasaran yang timbul di benakku setelah pertemuan dengan peri hutan pinus itu,
membuatku gelisah tiada menentu. Tiap malam aku membayangkan ia hidup seperti
itu, bukan dengan cara seperti manusia yang ada di perkampungan Humalucia ini.
Bebas lepas dan tak ada acara bangun pagi, membersihkan kandang ternak, memberi
pakan mereka lalu menggembalakan mereka hampir seharian, terkadang harus
mencari beberapa ternak yang nakal karena memisahkan diri dari kelompok
besarnya.
Langkahku beberapa
hari kemudian telah membawaku ke tepi hutan pinus Pandore lagi. Aku berdiri,
lama, terasa beberapa nyamuk mulai menggigiti kulit kaki dan tanganku. Tapi aku
merasakan sesuatu sedang memperhatikan aku entah dari mana. Namun aku
merasakannya seperti itu. Aku tersenyum, aku yakin itu adalah Maliyant. Peri
cantik itu pasti sedang berada di pucuk tertinggi pohon pinus. Aku menengadah
dan memanggilnya dengan keras.
“Maliyant..,Maliyant..
aku datang..!!!” teriakku.
Belum beres
rasanya teriakkanku, sekonyong-konyong
peri itu sudah berada di hadapanku. Terkejutnya aku hingga jantungku
seolah berhenti berdetak dan mataku keluar meninggalkan kepalaku. Kami saling
terdiam dan hanya saling berpandangan . Namun sebentar saja semua suasana yang
menegangkan barusan menjadi cair, peri itu tersenyum manis sekali.
“Apa kabar Nathan..?”
tanyamu
“Baik,
bagaimana denganmu Maliyant..?” balasku segera.
“Seperti kamu
lihat, aku baik-baik saja kecuali..” ujarmu.
“Kecuali
apa..?” tanyaku cepat.
“Kecuali kamu
datang ke sini untuk mencuri batu-batu lagi “ selorohmu sambil tersenyum.
“Hehehe..
tidak mungkinlah aku melakukan itu Maliyant, karena itu terlarang bukan.?”
Jawabku pula. Dan kamupun tersenyum mendengar jawabanku. Lalu kamipun
berbincang bincang seputaran keseharian kami masing-masing, dan kurasakan kita
seperti telah lama berkenalan dan baru bertemu sekarang sehingga tiada
kecanggungan antara kita.
Kamu
bercerita penuh antusias tentang keseharianmu di hutan pinus ini, yang menurutku
sangat mengasyikan sekali bisa punya sayap dan dapat terbang kian kemari,
bermain-main bersama Plolemurs yang bergelayutan di antara dahan-dahan pinus,
kemudian terjun dari ketinggian menceburkan diri ke dasar sungai lalu bermain dengan
gemercik airnya, mengintip kejadian di daratan dari pucuk pohon pinus yang
menjulang tinggi tanpa diketahui oleh sesiapapun. Hmmmzz, aku sudah mengira
bahwa kamu memerhatikan aku dari pucuk cemara sana gumamku.
Dan
hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan sewindu sudah aku terbiasa datang ke
hutan pinus itu, hingga akhirnya baru kusadari bahwa ternyata tiada hari aku
tanpa kamu, dan selalu menyempatkan diri untuk menemuimu. Rasanya tak karuan
jika sehari saja aku tidak berjumpa dengan kamu, gelisah dan selalu ingin tahu
bagaimana kabar kamu hari ini, sehingga aku tahu jika kamu baik-baik saja, maka
hatikupun merasakan ketenangan. Apakah aku telah mencintainya, dan aku belum
juga menyadari itu semua..?
Ini
harus aku pastikan, apalagi kini kami telah beranjak dewasa, dan sudah cukup pantas
untuk memiliki pasangan gumamku, walaupun aku harus berpasangan dengan seorang
peri yang oleh sebagian penduduk Humalucia dianggap mahluk yang jahat dan tidak
bersahabat.
“Maliyant,
rasanya kita sudah kenal begitu lama, hampir delapan tahun sudah kita
berteman”, ujarku, “Dan rasanya aku sudah terlanjur sayang sekali sama kamu..”
Kamu seperti
kaget, namun kemudian tersenyum dan berkata,”Terus”.
“Yaaa, gak
terus sih, hehehehe”, lanjutku tak berani ungkapkan perasaan yang lebih
kepadamu.
“Oh, sama… aku
juga sudah menganggap kamu seperti kakak kandungku sendiri, kamu baik dan
perhatian,kamu satu-satunya manusia yang mau berteman dengan peri seperti aku
ini, karena aku tahu bahwa penduduk desa Humalucia sangat tidak suka kepada
bangsa peri.”, begitu balasmu menggusur perasaan cinta yang sudah di ujung
lidah kedasar jurang penuh lem, sehingga melekat di situ selamanya. Beberapa
saat lamanya kami hanya terdiam sambil menyusuri kelebatan hutan pinus ini
dengan terbawa oleh pikiran dan perasaan masing-masing hingga akhirnya senja
tiba dan akupun pulang kembeli kerumahku dengan menyimpan gemuruh perasaan di
dalam hati yang menggelora namun padam terkalahkan ketidak beranianku untuk
mengatakan isi hatiku kepada Maliyant.
Hari-hari
selanjutnya, kami semakin jarang bertemu, dan aku selalu beralasan jika kamu
bertanya mengapa aku mulai jarang menemuimu, kukatakan karena banyaknya
pekerjaan yang harus aku lakukan, walaupun sebenarnya bukan itu alasannya,
tetapi karena aku tak ingin kamu tahu bahwa aku lebih dari sekedar
menyayangimu.
Hari
masih pagi di Humalucia yang dingin, tenang dan damai .... eh, tapi kok ramai
sekali tentara berbaris rapi dengan perlengkapan perang beriringan serempak
melewati desa ini tepat di depan rumahku..? segera aku mencari tahu hendak kemana
tentara-tentara itu menuju.
Alangkah
terkejutnya aku, saat aku tahu bahwa tentara-tentara itu menuju hutan pinus
untuk memerangi peri-peri yang tinggal di sana. Mereka pikir peri-peri itu
penyebab dari keresahan penduduk kerajaan Serangia yang merasa keberadaan peri
di hutan itu selalu membuat mereka takut untuk berkeliaran di sekitar hutan
itu, karena kayu-kayu dari pohon pinus itu sangat dibutuhkan oleh penduduk
kerajaan Serangia untuk berbagai keperluan seperti dinding rumah, gerobak
kereta. Juga peralatan-peralatan yang terbuat dari kayu pinus seperti
lemari-lemari kecil yang tergantung di dapur dan lain-lain.
Seperti
Ikran sang kuda jantan yang berlari, aku menerobos semak belukar memotong jalur
arah menuju hutan pinus itu untuk memperingatkan kepada Maliyant tentang
rencana penyerangan tentara kerajaan Serangia. Namun aku terlambat, ternyata
persis di hadapanku, dua pasukan yang saling berhadapan telah bersiap menghunus
senjata masing masing untuk menunggu aba-aba tiupan terompet dibunyikan. Belum
sempat mataku berkedip, tiupan terompet telah dilakukan dan sejurus kemudian,
hanya dentingan keras suara-suara pedang, kapak dan pisau belati beradu untuk
saling melukai lawan, atau bahkan membunuh musuh masing-masing. Aku hanya diam
terpaku dengan apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku, tubuh-tubuh
berjatuhan, baik di fihak tentara kerajaan Serangia maupun dari fihak bangsa
peri. Darah berhamburan ketanah, memerahkan rerumputan yang sejatinya berwarna
hijau. Suatu pemandangan yang tak sanggup aku lihat lebih lama lagi. Begitu
banyaknya mayat-mayat bergelimpangan di tanah bersimbahan darah, membuat
perutku mual dan tak tahan lagi untuk muntah. Aku berlari menghampiri hutan
pinus dan menerobos masuk sejadinya kearah bagian dalam hutan pinus itu dan
terduduk diam di sebuah batu hitam tempat aku dan Maliyant mengobrol. Tak
pernah aku bayangkan sebelumnya bahwa peperangan ternyata sekejam ini dan
sangat menakutkan, mereka bagaikan monster yang beringas untuk menumpahkan
darah dari musuh-musuh mereka. Mengayunkan senjata untuk mencabut nyawa lawan
dengan paksa.
Aku
memiliki sebilah belati yang sangat tajam, namun hanya aku gunakan untuk
berburu hewan sebagai santapan keluargaku. Dari sini masih terdengar suara
dentingan beradunya senjata-senjata yang tebuat dari logam, aku pernasaran di
mana Maliyant sekarang berada..? aku takut jika Maliyant menjadi korban dalam
peperangan ini, walaupun aku tahu bahwa dia adalah peri yang terkuat diantara
peri yang lainnya. Aku berusaha memanggil Maliyant agar dia keluar, namun lama
panggilanku tak mendapat reaksi. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pulang
kerumahku, tentu saja melalui jalan memutar yang tidak melewati kancah
pertempuran, walaupun harus ditempuh lebih jauh dari jalan yang biasa aku
lalui.
Sepertinya
perang akan dilanjutkan besok , hari sudah mulai senja, dan kulihat
iring-iringan tentara kerajaan melalui depan rumahku lagi, tampak keletihan
diraut wajah mereka yang tertunduk lesu dan seperti mengalami kekalahan. Namun
kudengar selintas percakapan komandan mereka yang berbaris di bagian depan,
bahwa jika ingin memenangkan perang ini, maka peri yang terkuat harus bisa
dibunuh terlebih dahulu. Tiba-tiba saja aku merasa malam ini aku harus kembali
kehutan untuk memperingatkan Maliyant, bahwa tentara kerajaan itu sekarang
mengincar kematiannya. Karena Maliyant adalah Peri yang sangat kuat diantara
peri-peri lain penghuni hutan pinus itu. Namun aku sudah bisa pastikan bahwa
Maliyant tidak akan pernah mungkin untuk mendengarkan peringatanku, kamu pasti
akan habis-habiskan mempertaruhkan nyawamu demi sebuah harga diri seorang peri
yang dihormati oleh peri lainnya di hutan Pandore ini. Lagipula, aku harus
meyakinkan kepada raja bahwa jika aku bisa membuktikan bahwa Maliyant telah
tewas, maka peperangan melawan bangsa peri harus dihentikan. Karena tanpa peri
Maliyant sebagai pemimpin perang bangsa peri, peri yang lain tak mungkin berani
melanjutkan peperangan dengan para tentara raja. Akhirnya dengan membawa
kesepakatanku dengan raja aku menemuimu.
Lalu
kejadian di malam itu pun menjadi malam yang teramat panjang yang kurasakan, diawali
dengan perbincangan mengenai peperangan hari itu dari pagi hingga menjelang
malam sampai aku mendengar rencana salah satu komandan pasukan untuk membunuhmu
terlebih dahulu Maliyant.
Karena kamu dianggap
sebagai kunci kemenangan tentara kerajaan Serangia. Namun kamu idak
mengindahkan peringatanku, bahkan kamu akan melawan para tentara yang akan
menyerangmu dengan bantuan Ikran Toruk , salah satu tungganganmu jika akan
bepergian jauh ke ujung bumi utara. Padahal kamu belum mengerti bahwa bangsa
manusia mempunyai seribu cara yang licik
untuk mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Sebab itulah aku
melakukan sesuatu yang sebenarnya tak sampai hati untuk berbuat seperti itu,
disaat engkau terlelap pada dadaku karena keletihan selepas perang siang tadi ,
aku memisahkan sayap dari tubuhmu dengan perasaan hancur dan takut engkau
benar-benar akan membenciku seumur hidupmu. Tapi percayalah padaku, aku hanya
berniat menyelamatkanmu. Dan kuharap Raja Serangia menjalakan kesepakatan kami
untuk menghentikan perang ini, sekaligus juga sebagai pertanda bagi peri-peri
yang lain supaya tidak menyerang bangsa manusia jika mereka mendatangi hutan Pandore
ini. Sebab yang kuinginkan adalah kamu tetap hidup walaupun tidak bersamaku
karena setelah kejadian malam ini, kamu pasti akan sangat murka terhadapku. Dan
menjadikanmu sebagai Toruk di hutan Pandore ini. Ma’afkan aku Maliyant, Ma’afkan
bila kau kecewa terhadapku.
*
Ploremurs monyet dengan tangan dan kaki berselaput seperti kaki bebek yang
pandai berenang
dan menyelam, namun komunitas mereka berada
di atas pohon dan bergelayutan seperti kera.
*
Ikran adalah Kuda terbang berekor naga berkaki seperti cakar elang yang kuat
dan tajam.
*
Toruk adalah bayangan terakhir.
Rangkasbitung,
3 Mei 2015
Menangis
adalah ketika mulut tak tahu lagi harus mengeluarkan kalimat [ yang menjadi
luapan emosi di dalam hati ] seperti apa, dan ketika semua daya upaya telah
dilakukan walau dengan resiko terburuk yang belum diketahui bakal terjadi
bagaimana. Tapi ia bukan tanda kelemahan, melainkan 'kesadaran akan kekurangan'
bahwa memang manusia hanya bisa berusaha dan berdo'a saja, sedangkan hasil dari
semua usaha itu menjadi urusan Sang Maha Pengatur, Allah Yang Maha Tinggi.