Mimpi (mungkin) menjadi nyata
Siang itu, rasa lapar belum juga menggelitik
perutku. teriknya matahari menambah rasa malas mencari makanan jika rasa
laparpun akhirnya datang.
Jari-jariku terlalu asik menari-nari diatas
papan kotak-kotak berhuruf di atas mejaku. Sesekali aku tersenyum, tidak kepada
sesiapa, entahlah, monitor gadgetku menyandera segenap indera.
Dan sebenarnya aku tidak tahu apa yang
semestinya aku tulis dan mengenai tentang apa. Aneh rasanya jika dia tidak ada
di sini, seolah inspirasiku hanya dia, dan selalu dia.
Mungkin karena alasan klise itu, aku menjadi
hilang rasa. Segala sesuatu tentangnya membuatku tidak merasakan lapar, sakit,
sedih, bahkan bahagia. Aku menghabiskan hari-hariku dengan ekspresi datar dan
biasa-biasa saja. Ini bertolak belakang dengan reputasiku yang dikenal sebagai
"the extraordinary person everyday ".
Lalu perlahan aku mulai mengalihkan perhatianku
keseliling ruang, sepi. Semua orang
terlalu asyik dengan kesibukannya masing-masing, kuletakkan gadgedku yang mulai membuatku sedikit bosan,
atau memang moodku hari ini sedang tidak bagus. Tapi entahlah. Aku beranjak
dari dudukku, mulai melangkah meninggalkan meja kerjaku.
Aku membayangkan tempat yang pernah aku datangi
bersamanya. "Mungkin jika aku datangi kembali tempat itu, aku akan merasa
lebih baik", aku membatin. Tanpa pikir panjang, aku berlari kecil menuju
parkiran kantor dan dalam sepersekian menit, aku telah berada di balik kendali
mobilku. Getaran lembut khas aspal menggelitik hingga ke punggung, kubuka
sedikit jendela dan menyulut sebatang rokok. Angin mengibas-ngibas rambutku
ketika aku mendengar deringan telepon memekak telinga. Handphoneku berdering.
Kulihat sekilas siapa yang meneleponku, hmmmzz,
rupanya dia. Sedikit debaran ragu aku mulai menekan tombol hijau bergambar
telepon, menjawab. “Assalamu ‘alaikum…” aku buka percakapan dengan perasaan
bercampur, apa yang akan disampaikannya gumamku.
Tidak ada suara yang membalas salamku.
Kukecilkan volume musik di tape mobilku mendekati angka nol, karena kufikir suara musik mengganggu pendengaranku, menyesal kemarin aku
urung membeli earphone yang ditawarkan temanku, aku membathin. “Assalamu
‘alaikum …” kukeraskan sedikit suaraku, berharap ada jawaban di ujung telepon sana. Tidak ada juga, kuperiksa
lagi handphoneku meyakinkan bahwa sambungan masih berlangsung. Masih, gumamku,
sekali lagi aku mengucap, “Assalamu ‘alaikum, kamu bisa dengar suaraku…?” tanyaku lebih penasaran. “Signalmu sepertinya
kurang bagus disana…” lanjutku meyakinkan bahwa signal di dalam mobilku tidak
bermasalah. “Walaikum salam…” terdengar jawaban. Aku tersenyum lega mendengarnya. “Kamu di mana…” tanyanya
kemudian.
“Aku lagi di jalan, mau nyari makan..” jawabku
sekenanya. “Kamu sudah makan..?” tanyaku cepat sebelum ia menanyakanku mau
makan di mana. Namun tiba-tiba sesuatu membuat aku terkejut.. “Braarkk….”, lalu
aku membuka mata yang ternyata, ya ampun.. aku bermimpi di siang bolong.
Hihihihi, gak nyangka aku bisa bermimpi seperti ini. Tapi, hmmmzzz.. mimpi itu
seperti nyata saja, aku menjadi seorang pegawai kantoran, tapi entah kantor apa
ya, namun dari gambaran di mimpi itu, dan suasana di sekitar ruang kerja yang luas dan penuh dengan perangkat komputer di
setiap meja kerjanya, kuyakini itu kantor sebuah perusahaan dibidang
penerbitan atau publikasi, seperti majalah atau koran, senang juga bisa
mengalami yang namanya menjadi pegawai kantoran yah. Tapi di mimpi itu aku
seperti sedang menjalin hubungan entah dengan siapa. Ah namanya juga mimpi, yang kata orang tua dulu adalah bunganya
tidur.
****
Seperti hari-hari sebelumnya, setiap siang aku
terbebas menjagai warung yang memang menjadi usaha kami semenjak krisis moneter
tahun 1998 itu terjadi. Usaha yang kami bangun dari sisa-sisa tabungan isteriku
yang memang mempunyai nasib lebih baik dibandingkan aku yang hanya mantan
karyawan sebuah Pabrik Ban di wilayah Kabupaten Bogor sana, sementara isteriku
mantan seorang akuntan di sebuah Perusahaan yang bergerak dibidang Properti,
dasyat bukan. Mimpi tadi membayangi ingatanku terus, seolah-olah mimpi itu
menjadi pertanda bahwa suatu saat aku akan menjadi seorang pegawai kantoran,
tapi entah kapan. Hari sudah menjelang petang, dan aku bergantian menggantikan
isteriku yang akan melaksanakan sholat ashar. Aku ambil posisi duduk di tempat
biasa aku memainkan gitar, dan memang tanganku sudah memegang gitar tua yang
aku minta dari bapakku yang memang hobby bermain gitar. Sambil mengenang
masa-masa pacaran dengan isteriku, aku mulai memainkan gitar mengiringi suaraku
yang gak terlalu jelek sebenarnya. Sementara terdengar suara tangisan puteri
kami yang kedua, aku beranjak menuju suara tangisan, karena saat yang sama
isteriku sedang melaksanakan sholat ashar dan puteri kami yang masih berumur
baru satu minggu sedang bisa menggangu kakaknya yang lelap tidur. Aku khawatir suara tangisan puteri kami,
Dhian namanya akan membangunkan kakaknya, Dhea. Kugendong Dhian dengan
penuh rasa sayang dan kubisiki pelan, “cup..cup..cup…sayang, kenapa dhian menangis, digigit nyamuk nakal yah, hmmzz, nakal yah
nyamuknya, sampe gigit-gigit dhian yang lagi tidur.” Begitu kataku menenangkan Dhian supaya tangisnya berhenti. Sebentar saja,
suara tangisan Dhian berganti
suara nafas lembut, tertidur lagi. Jarak usia antara Dhea dan Dhian memang
relatife dekat, hanya sekira satu tahun tujuh bulan. Bukannya kami tidak
mengindahkan anjuran pemerintah untuk ikut program KB, namun kehamilan isteriku
yang kedua benar-benar diluar perkiraan kami, karena sebenarnya isteriku
menjalankan Program KB dengan cara meminum Pil KB. Namun jika Allah Ta’Ala sudah berkehendak, siapa yang mampu
menolaknya…?
Begitulah kiranya menurutku, kehamilan isteriku untuk
anak kami yang kedua menurut perhitungan kondisi keuangan kami sangat
tidak memungkinkan untuk mempunyai anak lagi. Namun tidak begitu menurut
perhitungan Allah Ta ‘ala, anak kami yang kedua ternyata memberikan banyak
sekali perubahan keuangan di keluarga kami.
***
Malam itu tidak seperti biasanya, aku sudah
merasakan mengantuk, padahal jarum jam baru menunjukan angka 9, biasanya aku
tutup warung sekira jam 11 malam, namun karena rasa kantuk yang menyerang lebih
awal akhirnya aku tutup warung pada jam itu. Dan tak terasa bahwa aku sudah terlelap entah jam
berapa, sampai sebuah teriakan terdengar samar di telingaku yang seperti baru
saja tertidur.
“Apiiihhh..,” teriakan isteriku membangunkanku di pagi buta yang membuatku
terhentak segera beranjak dari tempatku tidur. Sekilas kulirik jam di dinding, masih pukul
empat lewat duapuluh menit gumamku.
“Ada apa sayang…” sahutku
“Kompor gas
hilang…” lanjut isteriku.
Dengan masih mengantuk sempoyongan nalarku langsung
memburu dapur yang ternyata benar adanya, kompor gas di sana sudah raib, kuteliti pintu belakang ternyata
terbuka sedikit, aku langsung keluar meneliti keadaan di luar rumah.
“Piiihhh…. Setrikaan juga hilang” suara keras
isteriku mengejutkan aku kembali. Aku bergegas menghampiri isteriku, tetapi aku
selintas teringat akan situasi warung yang belum aku lihat keadaannya, akupun
mengurungkan niatku menghampiri asal suara isteriku, aku membuka pintu warung
dan mataku bukan saja terbelalak melihat kondisi barang dagangan warungku pada
setiap rak yang tadinya penuh berisi jenis bahan pokok dan makanan ringan sudah kosong tak bersisa. Aku buka laci meja
tempat menyimpan uang warung, kosong juga. Namun di atas meja ada sebutir pil
yang kuamati ternyata pil obat penghilang sakit kepala.
Astaghfirullahaladziim…. lemas lututku sehingga aku terduduk di
kursi dekat meja warungku. Habis semua fikirku, tak bersisa semua jualan
yang ada di warungku. Aku terhenyak beberapa saat, pandanganku nanar, sedih
bercampur marah dan mendendam kepada orang yang telah tega merampok semua isi
warung yang menjadi andalanku sebagai mata pencaharian keluargaku. Isteriku
mendekatiku dan tercengang melihat situasi warung yang telah kosong melompong,
ia memegang pundakku dan suaranya lirih,
“Pih, isi warung habis semua, bagaimana ini..?”
tanyanya seolah sudah pupus harapan satu-satunya penyambung hidup kami.
Beberapa saat kami hanya tertegun, dan membenahi berserakannya kantong-kantong
plastik di lantai.
Hari mulai pagi, dan matahari mulai muncul di
ufuk timur, memancarkan terangnya ke sela-sela mata kami yang masih saja
tertegun tak percaya akan kejadian yang menimpa. Di luar mulai ada yang datang menghampiri hendak
berbelanja ke warung kami seperti biasanya, namun terdengar gumaman bahwa
warungnya masih tutup. Aku bergegas keluar dan kulihat tetangga langgananku
memandangku dengan harap aku akan bertanya hendak membeli apa, tapi tertahan
karena aku langsung bercerita kejadian yang menimpa warung kami.
“Pak, dini hari tadi warung kami kebongkaran,
jadi kami tutup warungnya.” Kataku menerangkan.
“Apa pak, kebongkaran ?” tanyanya, dan dia
seperti tidak percaya akan apa yang kami alami, lalu dia mulai mendekati
kembali rumah kami dan meneliti sampai kedalam warung melewati pintu depan.
“Innalillah…..” ujarnya.
“Keterlaluan sekali itu pencuri yah..” lanjutnya seperti bicara pada
diri sendiri.
Lalu perlahan tetanggaku meneliti semua
kemungkinan darimana pencuri itu bisa masuk kedalam warung. Lama meneliti
akhirnya dia sadar bahwa jendela depan rumah kami sedikit terbuka, tetapi sulit
sekali terlihat jika tidak diteliti dengan seksama, karena posisi jendelanya
tertutup kembali namun anak selotnya tidak terpasang. Jadi kemungkinan besar
pencuri itu membuka jendela dengan cara mengkait selot jendela itu. Terbukti di
luar pojokan rumah terdapat seutas tali yang dibentuk
sedemikian rupa dan dipasangkan pada sebilah bambu yang apabila diperhatikan jelas
sekali untuk mengkait sesuatu agar bisa ditarik ke atas, persis posisi selot
yang apabila hendak dibuka maka selotnya diangkat atau ditarik keatas.
“Dini hari tadi umi denger ada suara orang jalan
di ruang tamu pih, terus amih panggil nama apih, dia cuma berdehem beberapa
kali, umi kira itu apih, ternyata bukan yah..” lirih suara sesal yang terasa
dalam isteriku bercerita kepada kami. Tetanggaku menimpali, “ Ya mungkin udah
seharusnya kejadian ini terjadi bu, bersabar saja yah, bu, pak, semoga ini ada
hikmahnya, aamiin..” lanjut tetanggaku, Pak Amat namanya. Aamiin.., aku mengangguk tanda
setuju, walau sesalku berkelanjutan karena aku merasa tidak mampu menjagai
keluargaku dengan baik sehingga ada seseorang yang dengan begitu mudahnya
memasuki rumah kami tanpa aku ketahui, dan aku malah tertidur dengan pulasnya.
***
Empat tahun setelah
kejadian itu masih saja melekat dalam ingatanku, jika aku mengingatnya, aku
suka merasa sedih, karena modal untuk isi warung semuanya adalah tabungan dari
isteriku selama ia bekerja di perusahaan swasta beberapa tahun hilang dalam
sekejap saja, dalam semalam saja. Aku masih suka merasa bersalah saja jika
mengingat itu semua.
Namun sekarang aku bisa merasa sedikit lega,
beberapa minggu yang sulit dalam mencari makan setelah musibah itu akhirnya
mengantarkan aku pada sebuah profesi sebagai agen sebuah perusahaan asuransi di
kotaku. Lalu dua tahun kemudian aku diterima bekerja di Pemerintahan Tingkat Satu alias Provinsi. Begitu besarnya rasa syukur ini kepadaMU ya Allah.
Dan isteriku sekarang
bekerja di sebuah Bank BUMN selama dua tahun terakhir ini. Mungkin inilah buah
dari keikhlasan kami dalam menjalani hidup ini. Kami tak pernah berangan-angan
untuk menjadi orang lain, kami hanya ingin menjadi diri kami sendiri dengan
menjalani apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala sebagai bukti kami
bertawakal ketika jerih payah usaha dan do’a-do’a telah kami lakukan.
The
memory was not forgotten in the city of rangkasbitung in 1999 ~