Sang Pemburu



Disebutnya aku seperti itu, sang pemburu. Walau kenyataannya tidak seperti itu, tapi biarlah, terserah ia mau menyebut aku apa, aku sih datar saja mendengarnya, aku anggap itu sebagai sanjungan yang kelak ia tahu bahwa yang ia maksud dengan julukan itu bukanlah untuk diriku.



Beberapa bulan kemudian, ketika sebutan itu sudah mulai dilupakan dan kemistri lambat laun seiring waktu berjalan, mulai terbentuk antara malam dan rembulan, layaknya peri mungil dan kurcaci, mereka berteman dan bercengkrama dalam hutan hijau rimbun tetumbuhan yang menyediakan banyak sekali buah-buahan serta bunga, madu dan yang tidak kalah penting adalah pelepah daun pisang tempat bermain perosotan dan lebarnya daun jati untuk sekedar main sembunyi-sembunyian sambil bernyanyi-nyanyi.
Hingga  sampailah disatu hari yang terik karena sinar mentari yang mengerang marah panasi permukaan bumi seolah ingin membuat bara api. Sebaris berita di sosial media kisahkan sebuah cerita pilu yang menghembuskan dalam - dalam nafasku seolah tertelan di dalam alur. Penikmat laku yang menjadi peranku mengantarkan aku mengusung sebuah gelar “sang pangeran”, karena setelah mengerti jalan cerita yang diutarakannya dengan berapi-api menahan amarah yang menggebu gebu, membuat naluri di dadaku sebagai pahlawan terus menerus mengiang dan berputar-putar tak karuan. Padahal separuh dari rutinitasku setiap harinya belumlah kelar, namun kenyataan mendesak aku untuk segera bertindak secepatnya menyelamatkan peri mungil yang tengah dilanda kesulitan akibat dari perlakuan penguasa di sebuah kastil berwarna abu-abu. Bagaimana mungkin aku akan berdiam diri saja dan tak melakukan apapun, padahal sedikit banyak ia telah menyebabkan setiap perubahan dalam diriku dan hidupku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sungguh ini tidak bisa dibiarkan, begitu gumamku.
Kuhubungi seseorang yang telah sekian lama menjadi kepercayaanku yang aku anggap mampu membantuku dalam misi penyelamatan yang telah aku fikirkan sedemikian rupa agar usaha ini akan berjalan lancar dan berhasil tanpa menimbulkan masalah baru, sebisa mungkin sang penguasa kastil itu tidak menyadari akan apa yang aku lakukan terhadap peri mungil yang telah lama dikuasainya. 


 

Dengan ditemani berbatang - batang cerutu murahan dan cemilan coklat , aku berdiskusi dan saling bertukar fikiran dengan orang kepercayaanku itu, serta membagi tugas yang akan menjadi tanggungjawab kami masing-masing, layaknya meeting agen-agen rahasia - cerita fiksi atau sebuah film laga detektif yang menjadi box office, sehingga kesalahan pada saat pelaksanaan misi yang bersifat sedikit rahasia ini bisa diminimalisir, atau bahkan sama sekali tidak terjadi kesalahan.
Akhirnya, tepat pada waktu yang telah ditetapkan, dengan keyakinan penuh dan tentu saja debaran jantung yang memburu dan rasa khawatir yang berlebihan dari diriku, mengingat peri mungil telah melayangkan sebuah kesan akan keberakhirannya di dunia ini sangat menggiurkannya. Kami bergegas beriringan menuju kediaman peri mungil dengan mengendarai kuda jantan berwarna merah yang aku tunggangi, dan kuda betina  berwarna hitam menjadi tunggangan orang kepercayaanku itu. Laksana di  film cowboy, kuda-kuda kami melaju dengan iringan suara tapal-tapal kuda di kaki mereka, menderu dan berderap serta berirama semangat perjuangan, menerjang setiap bebatuan dan lincah menghindari lubang-lubang jalanan.
Kupacu terus kuda-kuda kami yang sebenarnya bisa berlari kencang, namun karena ramainya pengguna jalan di jalanan, serta banyaknya kuda-kuda dan kereta-kereta kencana hilir mudik yang berpapasan atau searah tujuan dengan kami, akibatnya jadwal ketibaan kami di tempat sasaran target menjadi mulur dan sedikit tidak tepat waktu.
Mendekati kastil tujuan kami, tampak beberapa mata-mata atau telik sandi yang popular di jaman kerajaan sriwijaya dahulu, memerhatikan kami dari kejauhan. Ku urungkan niat semula yang rencananya jalur jalan yang kami tempuh  langsung mengarah kekastil tersebut, dengan cara berputar mengitari lewat belakang beberapa blok dari tempat kastil tersebut, dengan harapan telik sandi dadakan yang aku temui tidak merasa curiga dengan kehadiran kami yang tengah melaksanakan sebuah misi penyelamatan.
Tibalah kami di gerbang kastil abu-abu yang tinggi dengan aman, aku berusaha membuka pintunya dengan sekuat tenaga, berat nian pintu gerbang ini  gumamku, dan setelah pintu gerbang terbuka, tampaklah beberapa pintu akses masuk ke kastil abu-abu tersebut, kami mulai mendekati salah satu pintu kastil yang kami yakini sebagai tempat peri mungil disekap, atau lebih tepatnya lagi yaitu menyekap dirinya sendiri. Di daun pintunya tergantung seikat bunga yang mulai mengering, Beberapa penjaga yang melihat kedatangan kami dari balik pintu kaca di sebelah kastil itu menatap kami dengan tatapan yang tidak kufahami, apa mereka hanya sekumpulan tentara bayaran ? atau bahkan mereka sebenarnya bukan penjaga, atau bahkan mereka adalah penghuni kasti abu-abu ini. Lalu, orang kepercayaanku mulai mendekat dan mengetuk pintu berwarna putih itu dengan pelan. Sambil menyebut nama peri mungil tersebut dengan harapan ia mendengar suara panggilannya. Satu kali ketukan dan panggilan, tiada jawaban. Hening dan tiada tanda-tanda peri mungil itu berada di situ. Beberapa  ketukan dan panggilan, tetap saja tiada sahutan dari dalam, padahal kami jelas sekali melihat dari balik kaca kecil yang terdapat di samping pintu itu, sebuah sofa tunggal yang di atasnya terdapat beberapa bungkus atau kotak makanan-makanan ringan, dan sebuah asbak logam atau serupa logam tempat abu cerutu, yang kami yakini di situlah peri mungil itu berada beberapa saat yang lalu.
Sampai akhirnya kami mulai merasa putus asa lalu berkesimpulan, bahwa peri mungil tiada sudi diselamatkan oleh “hanya seorang sang pemburu” yang padahal aku sendiri berharap bahwa aku adalah seorang pangeran dengan kuda merah yang akan menjadi pahlawan baginya. Namun ternyata rencana dan usaha yang kami susun sedemikian rupa, sama sekali tidak berhasil dan tidak seperti yang kami bayangkan sebelumnya. Kami mengirakan bahwa rencana yang kami susun ini akan berhasil menyelamatkan peri mungil dengan membawanya pergi dari kungkungan kastil untuk sementara waktu, dan membawanya ke sebuah tempat dimana ia bisa bersenandung kebahagiaan dan meneriakan kebebasan. Atau ketempat biasa kami bermain perosotan di pelepah daun pisang lalu main sembunyi-sembunyian di lebarnya daun jati sambil bernyanyi-nyanyi.

Rangkasbitung, 13 April 2015. [inspirasi: cinderela 2015]

Setiap niatan yang baik, tidak selalu mendapat penerimaan yang positif dari orang yang kita maksud, namun itu tidak sedikitpun akan mengurangi kebaikan yang telah dicatat oleh pencatat kebaikan, karena setiap niat yang baik, akan didahulukan pencatatannya sebelum niat itu dilakukan sekalipun.





----*****----










Popular Posts